|
Sebuah Evaluasi untuk KPU Sumbar |
Kamis, 08 Juli 2010 |
Sebuah Evaluasi untuk KPU Sumbar
oleh: Mayonal Putra
Menjelang hari H itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh KPU Sumbar untuk memberikan informasi pilkada ke masyarakat. Semua itu dikemas oleh KPU Sumbar dalam berbagai bentuk. Salah satunya debat kandidat kepala daerah wakil kepala daerah sumbar 2010 (Singgalang,25 Juni 2010:8)
“Berbagai upaya” seperti yang dikatakan di atas, dalam rangka menyukseskan pemilukada badunsanak 30 Juni ini tentu harus di evaluasi oleh KPU sendiri atas berbagai upayanya, serta masyarakat secara luas di Sumatera Barat. Informasi di atas di sambung dengan kalimat,”...sukses itu tentunya tidak terlepas dari kesolidan para personil KPU Sumbar”.
Jadi pertanyaannya adalah apa indikator, sehingga upaya-upaya KPU dikatakan telah sukses dalam melaksanakan sosialisasi pemilukada 2010 kepada masyarakat Sumbar secara menyeluruh. Jawabannya belum dapat di lihat sampai hari pemilihan ini, dan juga tidak dapat dikatakan hanya persoalan partisipasi masyarakat dalam memilih pasangan calon gubernur wakil gubernur saja. Apalagi jika hasil rekapitulasi pemilih yang melaksanakan haknya untuk memilih tidak lebih dari 80 persen. Jika kita boleh melihat kebelakang, tepatnya 2005 lalu ada sekitar 37% masyarakat yang tidak menunaikan haknya sebagai pemilih. Berarti hanya sekitar 63 % masyarakat yang berpartisipasi dalam melaksanakan haknya sebagai pemilih (Asrinaldi).
Undang –Undang (UU) nomor 32 /2004 tentang pilkada, adalah keterlibatan masyarakat yang aktif. Ini tidak hanya dilihat ketika hari pencoblosan saja, melainkan jauh-jauh hari sebelumnya mulai dari tim sukses mengutus calon ke KPU. Jadi tanggung jawab KPU adalah bagaimana menciptakan masyarakat ikut dan aktif dalam pemilukada sehingga tidak ada elemen masyarakat merasa di rugikan dalam pelaksanaannya.
Sejauh ini, apakah sudah boleh dikatakan KPU telah sukses mensosialisasikan pemilukada badunsanak ini kepada masyarakat secara universal? Kalau memang KPU telah menjawab itu bahwa telah sukses, ukuran kesuksesannya seperti apa? Jika KPU Sumbar memandang debat kandidat yang diadakan sebanyak 5 kali yang disiarkan secara langsung di stasiun TV lokal ataupun nasional, sukses! Lalu kita mempertanyakan, apakah dipandang sukses pelaksanaannya karena lancar-lancar saja, tanpa ada konflik atau memang benar-benar sukses kualitas debat calon yang membuat masyarakat cerdas dalam menganalis siapa calon yang akan di pilih, dan pilihan itu di yakininya tepat, atau memang masyarakat memandang tidak berkualitas sehingga banyak yang kecewa terhadap hasil acara debat itu. Ada calon yang menyindir-nyindir, ada yang saling menyinggung, dan lain sebagainya sehingga sangat mengurangi citra badunsanak yang di agung-agungkan KPU. Artinya KPU semestinya tidak hanya memikirkan bagaimana terjadinya dan terlaksananya, tetapi seharusnya memberikan wejangan atau hidangan itu benar-benar dinikmati oleh masyarakat sehingga masyarakat benar-benar dicerdaskan.
Jika KPU men-generalisir bahwa dengan debat kandidat yang diadakan sebanyak 5 kali itu, mampu membuat masyarakat cerdas dalam menilai pasangan mana yang harus dipilih, sepertinya tidak menjadi sebuah ukuran untuk harapan itu, melainkan hanya sebuah program yang harus dikerjakan. Kemudian, upaya-upaya lain yang dilakukan untuk sosialisasi pemilukada 2010 ini, belumlah optimal untuk diketahui masyarakat sehingga masyarakat peduli dan aktif, serta menjadikan sebuah arti penting dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Ini bisa saja kita lihat di sepanjang jalan-jalan utama di kota Padang serta jalan utama daerah lainnya. Begitu banyak bermunculan spanduk-spanduk sosialisasi dari kelompok-kelompok masyarakat sebagai auto kritik dari masyarakat terhadap KPU. Ada pula kita jumpai dari masyarakat yang membagi-bagikan ribuan selebaran serta stiker sebagai bentuk sosialisasi kepada masyarakat yang bukan dari KPU sendiri. Menariknya dan sangat menggelitik adalah, adanya kelompok mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi di saat debat kandidat terakhir dilaksanakan, di luar ruangan. Mereka membagikan ribuan stiker sosialisasi. Sehingga ini menjadi pertanyaan, seperti apa hubungan KPU dengan masyarakat dalam kerangka pemilu kada ini? Lalu dimana letak kesuksesan yang dikatakan?
Aturan Tidak Fair
Ada yang menjadi catatan penting, antara calon yang baru muncul dengan incumbent. Sangatlah tidak fair aturan yang dibuat KPU, bahwa waktu kampanye hanya 14 hari. Bagaimana mungkin bagi pasangan calon yang baru bermunculan untuk membuat masyarakat tahu dengannya? Mempelajari visi misinya? Sementara incumbent sudah sejak lima tahun belakangan mempromosikan diri kepada masyarakat.
Inilah persoalan serta penyebab pelanggaran yang terjadi sebelum kampanye di mulai sampai masa kampanye habis. Katakan saja, curi star, praktik politik uang, pemakaian fasilitas umum dan milik negara oleh pasangan, dan seterusnya dan seterusnya. Tidak pula ini menjadi perhatian serius KPU dan Panwaslu sehingga tidak ada tindakan dan menjadi sebuah kebudayaan yang tidak bisa tidak dilakukan dalam masyarakat pada setiap musim kampanye, baik kampnye resmi ataupun kampanye tertutup atau black kampaign.
Potensi Konflik
Pemilukada badunsanak, meminjam Asrinal bahwa badunsanak hanya sebuah jargon politik elit yang di cereki kepada cawan(masyarakat). Sebuah cara sebenarnya yang menyinggung psikologis elit dan masyarakat biasa untuk meminimalisir kejadian-kejadian yang berbuah konflik yang bisa saja terjadi.
Pemilukada dimanapun sebenarnya mengandung potensi konflik, karena pandangan terhadapnya relatif dari masing-masing masyarakat. Dengan cara apapun KPU melakukan, tidak bisa tidak potensi konflik ini dihilangkan. Apalagi untuk hari ini kerja KPU memang dinilai sebagian masyarakat tidaklah maksimal. Diantara persoalannya adalah, pertama, sosialisasi di pandang belum optimal, kedua, masa kampanye terlalu pendek sehingga terjadi kampanye terselubung yang di kenal dengan black campaign. Ketiga, atribut partai dan pasangan calon seharusnya sudah bersih semenjak tanggal 27 Juni 2010, belumlah mampu di kerjakan Panwaslu sepenuhnya.
Yang menariknya, ketika seminar Asosiati Ilmu Politik Indonesia yang diadakan AIPI Cabang Padang(Pangeran City,25/06), ketua Panwaslu mengatakan bahwa ia ingin menindak tegas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tetapi ada aturan KPU yang memberi peluang untuk itu. Ini sangat menggelitik saya yang juga awam terhadap aturan-aturan itu.
Lalu, hari ini pesta sedang dilangsungkan. Apa kira-kira solusi dan kemungkinan yang dilakukan sehingga tidak menimbulkan pekuang konflik dan konflik baru di tengah-tengah masyarakat. Pastinya kita tidak ingin peristiwa di Pesisir Selatan pada pilkada 2005 lalu terulang lagi pada pemilukada 2010 ini diberbagai tempat di Sumatera Barat. Peristiwa Mojokerto dengan anarkis massa Mei silam, tentu hendaknya menjadi pelajaran bagi kita bersama di ranah Minang ini dengan tetap badunsanak. Semoga badunsanak tidak hanya menjadi jargon politik semata tetapi hendaknya mampu membendung konflik yang akan terjadi. Tentunya kapal ini di nakhodai oleh KPU dan kompasnya Panwaslu. Semoga saja! |
posted by mayonal putra @ 03.17 |
|
|
Fungsi Keluarga Membentuk Perkembangan Anak |
|
Fungsi Keluarga Membentuk Perkembangan Anak
di terbitkan oleh harian singgalang, minggu(4/7/2010)
Sudah berfungsikah keluarga anda? Terganggukah perkembangan kepribadian anak-keturnunan anda? Pertanyaan yang mendasar dalam membina keluarga yang fungsional. Sebenarnya, semua orang yang telah berkeluarga sudah di beri tahu tanggung jawab sebagai suami dan istri sebelum akad nikah di laksanakan. Namun, dalam prosesnya banyak keluarga yang tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya sehingga perkembangan kepribadian anak-keturunannya terhambat. Karena keluarga merupakan salah satu faktor penting yang membentuk kepribadian anak.
Menurut Psikologi Perkembangan, individu atau seorang anak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yang pertama adalah faktor hereditas disebut juga dengan totalitas karakteristik individu yang diwariskan orang tua kepada anak melalui gen-gen yang kedua adalah faktor lingkungan. Lingkungan terbagi kedalam beberapa bentuk, tapi yang paling dekat untuk mempengaruhi seorang anak adalah keluarga. Keluargalah yang harus mempunyai peranan dan fungsi yang sangat penting dalam mengembangkan pribadi anak. Keluarga juga di pandang sebagai institusi yang dapat memenuhi kebutuhan insani, terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadian dan pengembangan ras manusia. Jika dikaitkan peranan keluarga dengan upaya pemenuhan kebutuhan individu (hirarki kebutuhan Abraham Maslow) maka keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Erik Erickson—ahli psikologi perkembangan –mengajukan delapan tahap perkembangan psikologis dalam kehidupan seorang individu dan itu semua bergantung kepada pengalaman yang diperolehnya dalam keluarga. Menurutnya, tahun pertama seorang anak harus mengembangkan suatu kepercayaan dasar (basic trust), tahun kedua, anak harus mengembangkan otonominya, pada tahun berikutnya dia harus belajar inisiatif yang mengarahkannya kedalam penemuan identitas dirinya. Iklim keluarga yang sehat dan perhatian serta orang tua yang penuh kasih sayang merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan psikologis seorang anak.
Keluarga yang bahagia merupakan suatu hal yang sangat penting bagi perkembangan emosi para anggotanya, terutama bagi seorang anak. Kebahagiaan ini diperoleh apabila keluarga dapat memerankan fungsinya secara baik. Fungsi dasar keluarga itu adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik diantara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan saja tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek dan keinginan untuk menumbuhkembangkan anak yang di cintainya. Keluarga yang hubungan anggotanya tidak harmonis, penuh konflik atau gap communication, dapat mengembangkan masalah kesehatan mental bagi anak.
Secara psiko-sosiologis, fungsi keluarga adalah, (1) pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya, (2) sumber pemenuhan kebutuhan baik fisik maupun psikis, (3) sumber kasih sayang dan penerimaan,(4) model pola prilaku yang tepat untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, (5)pemberi bimbingan bagi pengembangan prilaku yang secara sosial dianggap tepat, (6) pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan, (7)pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri,(8)stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat,(9)pembimbing dalam pengembangan aspirasi, (10)sumber persahabatan atau teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar rumah, atau apabila persahabatan di luar rumah tidak memungkinkan.
Dari sudut pandang sosiologis, fungsi keluarga adalah; (1) fungsi biologis, maksudnya adalah keluarga di pandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas, kesempatan dan kemudahan bagi para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan dasar biologisnya, kebutuhan itu meliputi; pangan, sandang, papan serta hubungan seksual suami istri atau pengembangan keturunan, (2) fungsi ekonomis, merupakan tanggung jawab orang tua terutama bapak sebagai kepala keluarga, (3)fungsi pendidikan, keluarga berfungsi sebagai transmitter budaya atau mediator sosial budaya bagi anak (Hurlock, 1956). Menurut UU No. 2 tahun 1989 Bab IV pasal 10 ayat 4 mengatakan bahwa pendidikan merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang di selenggarakan dalam keluarga dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai budaya dan keterampilan. UU 1989 ini masih relevan di pakai hakikatnya dalam rangka memahami fungsi keluarga dalam mencerdaskan anak.
Sudah menjadi sebuah kepastian bahwa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan (fisik dan psikis) anak adalah keberfungsian keluarga. Keberfungsian keluarga ini disebut juga keluarga fungsional yang ditandai oleh karakteristik; saling mencintai, terbuka dan jujur, orang tua mendengarkan anak, menerima persaan dan menghargai pendapatnya, sharing masalah antara anggota keluarga, mampu berjuang mengatasi masalah hidupnya, saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi serta mengayomi anak, komunikasi antar anggota keluarga berlangsung dengan baik, keluarga memenuhi psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya, mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. |
posted by mayonal putra @ 03.16 |
|
|
puisi mayonal putra |
|
Layang-layang basah
sudah bulat di hati ini,dinda!
kita tidak bisa lama bersama
biarkan saja segala yang di dada menjadi payau
seperti garam dalam air
sudah hilang rupa tapi cukup memberi rasa
bibir ini sudah asin,dinda!
setelah kita biarkan ia berpetualang ke duabibir yang lain pula
sebab yang lama menjadi racun dalam darah
sudah bulat di hati ini, dinda!
cita-cita sampaikan jua
pada hari yan berbeda dan bulan yang lain pula
lalu kita menunggu sore yang rintik
dari balik jendela rumah masing-masing
waktu menghitung wewarna tiba
di langit,
saat gerimis memecah mendung
itulah aku
layang-layang basah, menengadah
Juni 2010
Perempuan terbungkus
(1)
Aku suka padamu, wahai perempuan berona tertutup dengan tubuh yang terbungkus,
Yang tinggal dalam kerumunan dan sarang nyamuk-nyamuk penyamun
Tidak akan mungkin kerumunan itu menikamkan lidahnya kepada bersih kulitmu
Dan tidak akan mungkin pula, diagnosa dokter di rumah sakit mengatakan kamu demam berdarah
Aku terkurung dalam teduh matamu
Sungguh seperti rimbun pepohonan, untuk singgahan dagang lalu
(2)
Aku suka padamu, wahai perempuan berkeringat
Justru karena itu kau menanggalkan bajumu
Bau darahmu melekat di hidung suntik nyamuk-nyamuk
Lalu menikam hingga perutnya buncit yang bergelantungan pada tubuhmu sembari menekan perutmu yang langsing
Justru itu kau gatal-gatal
Kerang dan kejang
Sebentarlagi kau masuk kerumah sakit,
terinfeksi penyakit demam yang berdarah
Atau tak lama lagi kau akan menjadi perempuan yang terbungkus putih, berbaring di bara tanah
(3)
Wahai perempuan dengan seluruh sebutan,
Aku suka padamu
Sambil memburu hama dalam perutmu
Hingga kau tidak sering gelitik
Pintu di rumah kubur menunggu di setiap detak nafas
Ada yang kehausan setelah bungkusan tubuhmu dikerumuni
Atau tidakkah kau takut
Ular hitam berminyak bergelung di selangkanganmu,
Lalu kau menjadi perempuan peternak ular pada pekarangan rahimmu
Laut Tiga Warna
aku pada tepi laut tiga warna
memandang jauh ke barat jingga,
tak bertepi,
;perempuan itu tenggelam lagi dalam linangan air mataku
sambil mengayuh dengan kakinya
sambil mengupih uban di kepalanya
berharap bujang pulang,
kerumah yang tak pernah berkabar;
“aku di seberang pulau tak bernama,
hendak menjarah laut tiga warna”
Mei, 2010
Aquarium
ikan-ikan
bermain di laut, palsu,
menari dikarang, karang palsu
menunggu santapan dari air yang itu ke itu saja
cup…
cup…
cup…
berenang lagi,
meunggu badai yang tak datang-datang
dari musim yang tak pernah berganti |
posted by mayonal putra @ 03.14 |
|
|
MAHASISWA SEBAGAI KEKUATAN PEMBAHARU |
|
MAHASISWA SEBAGAI KEKUATAN PEMBAHARU
Oleh: Mayonal Putra
Saya tertarik dengan tulisan JE.Syawaldi Ch yang berjudul “Mahasiswa, antara kritis dan anarkis” yang di muat oleh Singgalang dalam edisi Minggu (27/6). Dalam tulisan itu sepertinya JE.Syawaldi ingin mengkritisi pola laku, tingkah serta sikap mahasiswa kebanyakan. Sepertinya JE.Syawaldi dalam alinea ke -4 pada tulisannya tersebut menjadikan dirinya sebagai representasi masyarakat yang sudah bosan dan jeli terhadap tindakan mahasiswa yang sering melakukan aksi demo lalu mempertanyakan bentuk aksi itu apakah kritis atau anarkis? Tergambar mahasiswa merupakan musuh—dari sebuah kedamaian bangsa—dalam tulisan itu, yang hanya menampilkan kekerasan sehingga JE.Syawaldi mengkhawatirkan masa depan bangsa jika mahasiswa seperti hari ini suatu saat menjadi tampuk pimpinan pemerintahan untuk generasi berikutnya.
Wajar saja jika ada elemen masyarakat berpikir seperti JE.Syawaldi, yang mesti dicari jawaban yang tepat, sehingga mahasiswa tidak lagi menjadi musuh dalam masyarakat. Menurut saya, sudah selayaknya kita melakukan reorientasi serta rekonstruksi terhadap karakter yang berkembang hari ini serta mengkaji ulang hakikat, fungsi, serta peran mahasiswa di tengah masyarakat bangsa. Jika kita tilik arti sederhana dari maha dan siswa—seperti sedikit di singgung oleh JE.Syawaldi—tampak sebenarnya sebuah nilai yang harus di bawa oleh mahasiswa dalam kehidupan. Sebab kata-kata maha memberi makna “ter”atau “paling” yang berada pada puncak tertinggi. Sementara siswa insan-insan pelajar yang mempunyai hak penuh untuk mendapatkan ilmu. Walau kadang kala banyak yang mengartikan bahwa belajar merupakan kewajiban siswa.
Dengan begitu berarti mahasiswa bukan sekedar sebuah predikat tetapi jauh lebih substantif dari itu. Menurut saya, jika ada orang yang sudah duduk di bangku kuliah tetapi tidak mengimplementasikan nilai-nilai subsantif dan hakikat yang dia sandang berarti sesungguhnya ia bukanlah mahasiswa. Karena mahasiswa merupakan orang dewasa sadar yang mempunyai hak menuntut ilmu serta tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakat adil makmur tanpa mendahulukan kepentingan pribadi dan hegemoni politik namun berpihak kepada kebenaran.
Dalam mengimplementasikan nilai-nilai itu, mahasiswa sebagai mahasiswa sebenarnya harus sadar akan posisi, fungsi dan tanggung jawabnya. Jika JE.Syawaldi mengatakan menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi mahasiswa maka saya mengatakan sebuah hak. Mahasiswa mempunyai posisi di tengah yaitu antara rakyat banyak dengan elit pemerintahan, jika kita pinjam istilah Jean Jaqques Rosseau maka mahasiswa berada antara proletar dan penguasa, yang berfungsi sebagai titi atau jembatan penghubung antara keduanya. Istilah yang kerap kita dengar adalah penyalur atau penyampai aspirasi rakyat jika dalam kajian dan analisis tajam dari mahasiswa menilai kebijakan penguasa tidak berpihak kepada rakyat maka kewajiban mahasiswa untuk bertindak. Bertindak bukan bermaksud hanya berdemonstrasi tetapi ada jalan-jalan yang elegan—seperti yang diharapkan JE.Syawaldi—yang harus di tempuh. Gaya dan diplomasi mahasiswa sangat diharapkan. Namun kebanyakan diplomasi itu telak gagal dan tidak membuahkan hasil yang memihak kepada kebenaran. Maka demonstrasi merupakan jalan terakhir yang harus di lakukan mahasiswa. Apakah ini haram? Saya kira, jika jalan lain yang bernuansa lebih elegan dan intelektual sudah di tempuh namun tetap gagal, aksi demonstrasi sudah halal untuk di lakukan.
JE.Syawaldi sudah menggambarkan sedikit dari refleksi sejarah mahasiswa pada tahun 1966 dan 1998 yang keduanya dari pergerakan itu menjatuhkan korban namun mampu merubah sistem. Hasil 1998 inilah yang menjadi pijakan dan kekuatan hukum bagi mahasiswa berikutnya untuk bergerak karena dihasilkan undang-undang yang melegalkan menyampaikan pendapat di tengah masyarakat umum oleh pemerintah. Artinya mahasiswa bukan hanya melakukan aksi tanpa ada dasar hukum yang jelas. Kalaupun ada mungkin itu oknum mahasiswa yang belum mengerti apa-apa.
Jika kita lihat sejarah lebih jauh peran besar yang di agung-agungkan atas tindakan mahasiswa tidak hanya 66 dan 98 saja. 1908, lahir sebuah organisasi pergerakan yang mengatasnamakan pemuda, 1926, 1928, 1945, 1971, dan seterusnya itu tidak bisa di lepaskan dari peran dan fungsi mahasiswa.
Saya sangat sepakat dengan pandangan JE.Syawaldi yang mengatakan bahwa mahasiswa tidak mementingkan kerapian, tauladan dan sebagainya dalam kontek kekinian. Namun perlu juga di sadari bahwa mereka secara lahiriyah memang mahasiswa namun secara substansi mereka bukanlah mahasiswa melainkan orang-orang yang terjebak sebagai korban sinetron dan iklan-iklan televisi. Mahasiswa-mahasiswa seperti inilah yang mesti di berikan reorientasi serta merekonstruksi kultur yang telah jauh dari hakikat. Inilah persoalannya bahwa nama besar mahasiswa yang sering di sebut elit minority, agent of change, dan lain-lain itu hanya sebagai slogan saja.
Patut kita sadari bersama, apalagi mahasiswa, bahwa elemen bangsa yang terdiri dari rakyat banyak, pemuda dan/atau mahasiswa, elit pemerintahan/penguasa, maka peran mahasiswa itulah sebagai kekuatan pembaharu dalam menegakkan kebenaran di atas bangsa ini. Yang namanya elit pemerintahan, yang kerap dengan politisasi, memperjuangkan golongan lalu disandarkan memperjuangankan rakyat, maka yakinlah bahwa hal kolusi, nepotisme, korupsi, makelar, suap dan seterusnya itu tidak dapat tidak dihindarkan. Karena begitulah manusiawi yang mempunyai kesempatan dan peluang besar untuk melakukankannya walaupun dari awal niat tidak ada.
Disini pulalah mahasiswa tidak boleh diam, tidak boleh tidak tahu dengan persoalan bangsa, yang harus cepat dianalisis dan bergerak untuk menyelamatkan bangsa. Satu sisi mahasiswa merupakan representasi rakyat untuk memperjuangkan kebenaran. Bukan musuh rakyat. Mahasiswa dan rakyat harus bersatu. Menurut saya, kejam nian jika mahasiswa hanya menyelesaikan tugasnya demi kepentingan pribadi saja sementara umat dan bangsa menjadi dipinggirkan.
Jika JE.Syawaldi mengharapkan agar mahasiswa bersikap menyimak ketika dosen menerangkan, maka saya berpendapat agar mahasiswa juga berpartisipasi terhadap apa yang diterangkan dosennya dengan pikiran tajam yang punya landasan. Sangat rugi jika sebuah perguruan tinggi menghendaki mahasiswanya patuh, tenang dan menoton tanpa dinamisasi intelektual. Soe Hock Gie mengatakan “guru bukan dewa, siswa bukan kerbau”. Sebab menyimak menurut saya bukanlah sebuah sikap mahasiswa, karena sikap mahasiswa itu ditandai dengan suka-atau tidak suka, menolak atau menyokong terhadap kebijakan-kebijakan kampus serta pemerintahan.
Untuk mengembalikan pergerakan mahasiswa kepada khittahnya, agar citra baik mahasiswa dikembalikan, maka perlu reorientasi dan rekonstruksi karakter yang telah berbudaya campur aduk tanpa ideologi yang jelas untuk terciptanya mahasiswa yang berdinamika intelektual dan melahirkan generasi cerdas yang berperadaban tinggi. Hidup Mahasiswa!Label: mayonal putra |
posted by mayonal putra @ 03.12 |
|
|
REORIENTASI PENDIDIKAN ; MENGENAL MASALAH DAN SOLUSI |
|
REORIENTASI PENDIDIKAN ; MENGENAL MASALAH DAN SOLUSI
Oleh: Mayonal Putra
Sebuah peradaban suatu bangsa bisa dikatakan baik apabila pendidikannya baik, kecintaan mereka kepada kebenaran, kebijaksanaan, ilmu-ilmu, ide dan gagasan-gagasan dengan aplikasi yang tampak pada karakter individunya, yang menjadi budaya atas integritas estetika soial dengan etika di tengah-tengah kehidupannya. Mereka tidak didasari oleh kepentingan pribadi dan hegemoni dalam persoalan kebenaran serta keuntungan. Bangsa yang penuh egalitarian, yang satu dengan yang lain bahu-membahu membangun bangsa-negaranya. Inilah sebuah karakter sebagai ejawantahan dari pendidikan yang ditanamkan baik secara formal maupun tidak.
Karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berprilaku, musayawarah ,mufakat dalam menyelesaikan masalah, local wisdom yang kaya dengan prulitas, toleransi dan gotong royong, telah berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling menyalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan sebagian fungsi utamanya?
Berkaca dari kondisi ini sudah sepantasnya kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah teredusir menjadi alat mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekadar lulus ujian nasional. Kalau betul begitu pendidikan sedang memperlihatkan sisi gelapnya. (Aan Hasanah, Media Indonesia ,14/12/09:20)
Sedangkan menurut Satria Dharma—pengamat pendidikan Indonesia — mengatakan bahwa kesalahan utama dalam pendidikan adalah tidak jelasnya tujuan ujian nasional (UN), kalau penyelenggaraan UN dimaksudkan untuk melihat bagaimana kualitas pendidikan kita secara nasional, sudah sangat jelas mubazir saja. Menurut hemat penulis, kenapa satria Dharma mengatakan UN mubazir saja sebab hasil UN tidak mempertimbangkan nilai-nilai psikologis siswa, nilai proses, nilai analisis pribadi, nilai analisis kelas, latar belakang siswa, faktor psiko-sosial dan lain sebagainya. Sudah tentu pendidikan Indoesia hanyalah berkeinginan mencapai persoalan materialis dengan nilai angka-angka tetapi tidak proporsional dengan nilai-nilai luhur bangsa yang di kehendaki sebenarnya, yang menjunjung tinggi peradaban dengan tidak mengabaikan aliran progresifism, sebagai salah satu aliran dalam filsafat pendidikan.
Melihat persoalan dalam dunia pendidikan kita dewasa ini, kenapa UN menjadi sebuah persoalan yang panjang yang menjadi perhatian utama. Apakah benar sistem UN hanya sebuah kepentingan hegemoni dari kelompok baru yang berkedok mempertimbangan kualitas ? Satria Dharma bilang sebuah politisasi dunia pendidikan, padahal carut-marut lain terlalu banyak yang kita jumpai jika ditelusuri lebih jauh lagi. Katakan saja pendidik tanpa ilmu pendidikan. Jelas pengkhianatan terhadap landasan pedagogi yang semestinya menjadi pertimbangan besar bagi pelaksana pendidikan. Prof. Prayitno mengistilahkan ini dengan kecelakaan pendidikan.
Jika Satria Dharma mengatakan bahwa kesalahan utama itu adalah persoalan UN, maka penulis meletakkan ujung persoalannya adalah pendidik tanpa landasan pedagogi, serta pelaksana dan penyelenggara pendidikan tanpa ilmu pendidikan. Akibat dari ini sangat fatal dalam mekanisme dan kerja harian di sekolah serta hasil yang di peroleh. Punishment yang dianggap oleh pendidik(guru) tanpa ilmu pendidikan tadi bisa membuat ia terjebak—dalam kontek kekinian— ke dalam tindak penganiayaan terhadap siswa bersalah. Kebiasaan lama kerap di praktekkan oleh guru tersebut kepada siswa seperti main pukul, jewer, usir dan tindakan yang di anggap tidak sesuai dengan zaman sekarang. Seperti banyak kasus yang kita ketahui dalam media masa maupun elektronik; guru yang lulusan bukan ilmu pendidikan di tahan karena memukul siswa terlambat. Ratusan kasus serupa bermunculan setiap harinya di sepanjang nusantara ini. Na’uzubillahiminzalik.
Manapun diantara keduanya sebagai pemicu utama dari persoalan itu, yang penting keduanya harus menjadi perhatian pemerintah serta masyarakat. Karena buah dari dilema panjang di tubuh pendidikan itu menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tertinggal. Dalam sebuah studi perbandingan , kualitas pendidikan Indonesia menduduki posisi tiga terbawah dalam penguasaan mata pelajaran Fisika, Matematika, Biologi, dan Bahasa di antara 50 negara di dunia, kendati kerap meraih juara dalam kompetisi akademik dunia. Dalam survei lain, Indonesia mendapat nilai rata-rata E dalam rapor pendidikan dan berada di peringkat 10 di antara 14 negara berkembang di Asia Pasifik di bawah Vietnam, India, Kamboja dan Bangladesh(Satria Dharma,2009:126)
Reorientasi
Pertama, pendidik harus tahu hakikat dan makna pendidikan itu sendiri. Adalah hal yang sangat aneh ketika pendidik tidak tahu dengan makna pendidikan. Menurut UU RI tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan Negara. Dengan demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan peserta didik untuk memimpin perkembangan potensi jasmani dan rohaninya kearah kesempurnaan.
Kedua, pendidik harus tahu substansi tujuan pendidikan. Sudah sangat jelas bahwa pendidikan tidak hanya mengharapkan potensi akademik siswa semata, tetapi jauh dari itu. Nilai-nilai luhur bangsa untuk mencapai sebuah peradaban tinggi. Menurut Prof. Ramayulis tujuan akhir pendidikan itu adalah terciptanya manusia paripurna yang dikenal dengan insane kamil. Muhaimin mengartikan Insan kamil itu adalah tercapainya insan yang memiliki dimensi religius , budaya dan ilmiah (Ramayulis,2002:55).
Hal tersebut diataslah yang semestinya diketahui dan di capai oleh segenap pelaksana serta penyelenggara pendidikan. Untuk mengaktualisasikan tujuan pendidikan maka pendidik harus bertanggung jawab mengantarkan manusia kearah keparipurnaan. Justru itu, pendidik dalam dunia pendidikan sangat krusial, sebab kewajibannya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan tetapi lebih di tuntut menginternalisasikan nilai-nilai pada peserta didik. Bentuk nilai yang di transformasikan adalah nilai etika atau akhlak, estetika sosial, ekonomis, politik, pengetahuan, pragmatis dan nilai-nilai ilahiyah atau ketuhanan, dan bukan hanya nilai yang sifatnya mengejar standar kelulusan yag di seragamkan secara nasional.
Ketiga, pendidik harus sadar akan hakikat dirinya sebagai pendidik. Apakah dirinya sebuah model percontohan atau tauladan bagi murid, atau dia hanya sebagai pekerja utuk pemenuhan kebutuhan pribadinya? Mengenai ini dapat kita pinjam Zakiah Derajat yang mengatakan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah laku peserta didik. Di dalam UU sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 dibedakan antara pendidik dengan tenaga kependidikan. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan di angkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebuatan lainnya yang sesuai dengan kekhususan serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sebagai pendidik tidak asal mau mengabdi dalam rangka mencapai kebutuhan pribadi saja. Pendidik yang sering kita kenal dengan guru—dalam strata sosial kadang kala dianggap profesi rendah sehingga ada doktrin bahwa pendidik yang kita kenal denga guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa—sebenarnya mempunyai tanggung jawab moral yang besar. Ini mengisyaratkan dan berusaha memberikan penyadaran kepada kita bahwa pendidik bukanlah kerja dalam rangka pemenuhan kebutuhannya semata tetapi lebih dari itu, yaitu pancaran tauladan dari jiwa yang penuh keikhlasan. Pendidik juga merupakan sebuah profesi yang professional dan proporsional. Bukanlah sembarangan orang yang bisa lulus kualifikasi—sebagaimana yang dimaksud oleh UU Sisdiknas di atas.
Ke empat, Untuk meningkatkan mutu serta kepribadian sebagai salah satu upaya untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang terjadi dan akan terjadi. Pemerintah merupakan ring satu dalam meningkatkan profesi dan menunjang kesejahteraan pendidik agar pendidik benar-benar professional, yang terkualifikasi sebagai pendidik demi kemajuan bangsa yang berperadaban. Sehingga istilah kecelakaan pendidikan—pendidik tanpa ilmu pendidikan—tidak lagi kita dengar. |
posted by mayonal putra @ 03.10 |
|
|
|
|