|
REORIENTASI PENDIDIKAN ; MENGENAL MASALAH DAN SOLUSI |
Kamis, 08 Juli 2010 |
REORIENTASI PENDIDIKAN ; MENGENAL MASALAH DAN SOLUSI
Oleh: Mayonal Putra
Sebuah peradaban suatu bangsa bisa dikatakan baik apabila pendidikannya baik, kecintaan mereka kepada kebenaran, kebijaksanaan, ilmu-ilmu, ide dan gagasan-gagasan dengan aplikasi yang tampak pada karakter individunya, yang menjadi budaya atas integritas estetika soial dengan etika di tengah-tengah kehidupannya. Mereka tidak didasari oleh kepentingan pribadi dan hegemoni dalam persoalan kebenaran serta keuntungan. Bangsa yang penuh egalitarian, yang satu dengan yang lain bahu-membahu membangun bangsa-negaranya. Inilah sebuah karakter sebagai ejawantahan dari pendidikan yang ditanamkan baik secara formal maupun tidak.
Karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berprilaku, musayawarah ,mufakat dalam menyelesaikan masalah, local wisdom yang kaya dengan prulitas, toleransi dan gotong royong, telah berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling menyalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan sebagian fungsi utamanya?
Berkaca dari kondisi ini sudah sepantasnya kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban? Jangan-jangan pendidikan telah teredusir menjadi alat mekanik hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar untuk sekadar lulus ujian nasional. Kalau betul begitu pendidikan sedang memperlihatkan sisi gelapnya. (Aan Hasanah, Media Indonesia ,14/12/09:20)
Sedangkan menurut Satria Dharma—pengamat pendidikan Indonesia — mengatakan bahwa kesalahan utama dalam pendidikan adalah tidak jelasnya tujuan ujian nasional (UN), kalau penyelenggaraan UN dimaksudkan untuk melihat bagaimana kualitas pendidikan kita secara nasional, sudah sangat jelas mubazir saja. Menurut hemat penulis, kenapa satria Dharma mengatakan UN mubazir saja sebab hasil UN tidak mempertimbangkan nilai-nilai psikologis siswa, nilai proses, nilai analisis pribadi, nilai analisis kelas, latar belakang siswa, faktor psiko-sosial dan lain sebagainya. Sudah tentu pendidikan Indoesia hanyalah berkeinginan mencapai persoalan materialis dengan nilai angka-angka tetapi tidak proporsional dengan nilai-nilai luhur bangsa yang di kehendaki sebenarnya, yang menjunjung tinggi peradaban dengan tidak mengabaikan aliran progresifism, sebagai salah satu aliran dalam filsafat pendidikan.
Melihat persoalan dalam dunia pendidikan kita dewasa ini, kenapa UN menjadi sebuah persoalan yang panjang yang menjadi perhatian utama. Apakah benar sistem UN hanya sebuah kepentingan hegemoni dari kelompok baru yang berkedok mempertimbangan kualitas ? Satria Dharma bilang sebuah politisasi dunia pendidikan, padahal carut-marut lain terlalu banyak yang kita jumpai jika ditelusuri lebih jauh lagi. Katakan saja pendidik tanpa ilmu pendidikan. Jelas pengkhianatan terhadap landasan pedagogi yang semestinya menjadi pertimbangan besar bagi pelaksana pendidikan. Prof. Prayitno mengistilahkan ini dengan kecelakaan pendidikan.
Jika Satria Dharma mengatakan bahwa kesalahan utama itu adalah persoalan UN, maka penulis meletakkan ujung persoalannya adalah pendidik tanpa landasan pedagogi, serta pelaksana dan penyelenggara pendidikan tanpa ilmu pendidikan. Akibat dari ini sangat fatal dalam mekanisme dan kerja harian di sekolah serta hasil yang di peroleh. Punishment yang dianggap oleh pendidik(guru) tanpa ilmu pendidikan tadi bisa membuat ia terjebak—dalam kontek kekinian— ke dalam tindak penganiayaan terhadap siswa bersalah. Kebiasaan lama kerap di praktekkan oleh guru tersebut kepada siswa seperti main pukul, jewer, usir dan tindakan yang di anggap tidak sesuai dengan zaman sekarang. Seperti banyak kasus yang kita ketahui dalam media masa maupun elektronik; guru yang lulusan bukan ilmu pendidikan di tahan karena memukul siswa terlambat. Ratusan kasus serupa bermunculan setiap harinya di sepanjang nusantara ini. Na’uzubillahiminzalik.
Manapun diantara keduanya sebagai pemicu utama dari persoalan itu, yang penting keduanya harus menjadi perhatian pemerintah serta masyarakat. Karena buah dari dilema panjang di tubuh pendidikan itu menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tertinggal. Dalam sebuah studi perbandingan , kualitas pendidikan Indonesia menduduki posisi tiga terbawah dalam penguasaan mata pelajaran Fisika, Matematika, Biologi, dan Bahasa di antara 50 negara di dunia, kendati kerap meraih juara dalam kompetisi akademik dunia. Dalam survei lain, Indonesia mendapat nilai rata-rata E dalam rapor pendidikan dan berada di peringkat 10 di antara 14 negara berkembang di Asia Pasifik di bawah Vietnam, India, Kamboja dan Bangladesh(Satria Dharma,2009:126)
Reorientasi
Pertama, pendidik harus tahu hakikat dan makna pendidikan itu sendiri. Adalah hal yang sangat aneh ketika pendidik tidak tahu dengan makna pendidikan. Menurut UU RI tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan Negara. Dengan demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan peserta didik untuk memimpin perkembangan potensi jasmani dan rohaninya kearah kesempurnaan.
Kedua, pendidik harus tahu substansi tujuan pendidikan. Sudah sangat jelas bahwa pendidikan tidak hanya mengharapkan potensi akademik siswa semata, tetapi jauh dari itu. Nilai-nilai luhur bangsa untuk mencapai sebuah peradaban tinggi. Menurut Prof. Ramayulis tujuan akhir pendidikan itu adalah terciptanya manusia paripurna yang dikenal dengan insane kamil. Muhaimin mengartikan Insan kamil itu adalah tercapainya insan yang memiliki dimensi religius , budaya dan ilmiah (Ramayulis,2002:55).
Hal tersebut diataslah yang semestinya diketahui dan di capai oleh segenap pelaksana serta penyelenggara pendidikan. Untuk mengaktualisasikan tujuan pendidikan maka pendidik harus bertanggung jawab mengantarkan manusia kearah keparipurnaan. Justru itu, pendidik dalam dunia pendidikan sangat krusial, sebab kewajibannya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan tetapi lebih di tuntut menginternalisasikan nilai-nilai pada peserta didik. Bentuk nilai yang di transformasikan adalah nilai etika atau akhlak, estetika sosial, ekonomis, politik, pengetahuan, pragmatis dan nilai-nilai ilahiyah atau ketuhanan, dan bukan hanya nilai yang sifatnya mengejar standar kelulusan yag di seragamkan secara nasional.
Ketiga, pendidik harus sadar akan hakikat dirinya sebagai pendidik. Apakah dirinya sebuah model percontohan atau tauladan bagi murid, atau dia hanya sebagai pekerja utuk pemenuhan kebutuhan pribadinya? Mengenai ini dapat kita pinjam Zakiah Derajat yang mengatakan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah laku peserta didik. Di dalam UU sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 dibedakan antara pendidik dengan tenaga kependidikan. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan di angkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebuatan lainnya yang sesuai dengan kekhususan serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sebagai pendidik tidak asal mau mengabdi dalam rangka mencapai kebutuhan pribadi saja. Pendidik yang sering kita kenal dengan guru—dalam strata sosial kadang kala dianggap profesi rendah sehingga ada doktrin bahwa pendidik yang kita kenal denga guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa—sebenarnya mempunyai tanggung jawab moral yang besar. Ini mengisyaratkan dan berusaha memberikan penyadaran kepada kita bahwa pendidik bukanlah kerja dalam rangka pemenuhan kebutuhannya semata tetapi lebih dari itu, yaitu pancaran tauladan dari jiwa yang penuh keikhlasan. Pendidik juga merupakan sebuah profesi yang professional dan proporsional. Bukanlah sembarangan orang yang bisa lulus kualifikasi—sebagaimana yang dimaksud oleh UU Sisdiknas di atas.
Ke empat, Untuk meningkatkan mutu serta kepribadian sebagai salah satu upaya untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang terjadi dan akan terjadi. Pemerintah merupakan ring satu dalam meningkatkan profesi dan menunjang kesejahteraan pendidik agar pendidik benar-benar professional, yang terkualifikasi sebagai pendidik demi kemajuan bangsa yang berperadaban. Sehingga istilah kecelakaan pendidikan—pendidik tanpa ilmu pendidikan—tidak lagi kita dengar. |
posted by mayonal putra @ 03.10 |
|
|
|
|
Posting Komentar