|
Wajah Pendidikan Kita |
Minggu, 09 Mei 2010 |
oleh: Mayonal Putra, S.Pd.I
Indonesia terlalu banyak memperingati hari yang dinaggap besar sebagai kenangan atas perjuangan tokoh, mengingatkan peran, dan sebagainya. Secara kasat mata dapat di katakan bahwa bangsa Indonesia mengalami kemajuan dari segi moral berbangsa- bernegara. Bisa juga dijadikan sebagai tolok ukur atas sesuatu, katakanlah pendidikan yang diperingati pada setiap 2 Mei atas jasa Ki Hajar Dewantara sebagai ‘bapak pendidikan’ bangsa ini. Seluruh warga Negara hari itu memperingati--demonstran aktivis pendidikan, upacara hari pendidikan dan sebagainya. Namun, berbagai pertanyaan dalam konteks kekinian muncul dari golongan-golongan tertentu, pro kontra wajah pendidikan seperti UN dari tingkat dasar hingga SLTA menyebabkan dilematis yang tiada hentinya sampai saat ini. Realita jauh dari substansi dan harapan belajar itu sendiri. Karena hari ujian (semester, mid, UN, dan seterusnya) adalah hari yang kental sekali dengan aroma belajar. Semua guru dan siswa “disibukkan” dengan segala macam kegiatan untuk menggenjot nilai melewati ambang bawah kelulusan. Tampak beberapa kegiatan yang mengesankan ‘ kita adalah pembelajar unggulan’ seperti les tambahan, try out dan ujian-ujian praktek yang membuat siswa tak bisa jauh dari buku dan kegiatan belajar. Jika dilihat melalui teropong budaya Indonesia, maka pemandangan itu adalah suatu kewajaran jika terjadi pada saat ini, namun akan menjadi suatu “kejanggalan” jika itu terjadi pada hari-hari di luar “musim Ujian”. Ini tampak sebagai sebuah fenomena nyata dan implementasi dari budaya Indonesia di era ini yang masih jauh dari budaya belajar. Orang atau anak yang ke mana-mana membawa buku dianggasp aneh, dijuluki kutu buku, dan kelihatan sok. Begitu juga dengan minimnya buku bacaan yang menunjang perkembangan siswa di setiap jenjang pendidikan menjadi suatu indikasi bahwa masih minimnya minat, antusias, dan keahlian guru dan praktisi pendidikan dalam hal menulis. Kesadaran masyarakat keseluruhan terhadap pentingnya edukasi masih lemah. Ini terlihat jelas bagaimana masih tertatanya persepsi masyarakat bahwa belajar itu hanya di sekolah. Setiap orang tua yang mempunyai anak memasrahkan anaknya untuk dididik dan diberi ilmu oleh para bapak dan ibu guru di sekolah. Namun sayangnya, banyak orang tua yang abai terhadap perkembangan intelektualitas yang didapat di sekolah. Pengawasan belajar di rumah yang seharusnya menjadi sumbangsih orang tua untuk kemajuan prestasi akademik anak masih sangat kurang. Hal ini sangatlah ironis dan membuat beban dilematis bagi kaum guru. Mereka merasa mempunyai tangungjawab ekstra bagi keberhasilan murid-muridnya. Akhirnya, guru banyak disorot atas kegagalan siswa dalam meraih prestasi dan minimal nilai kelulusan. Padahal jika dicermati secara bijak, banyak sekali elemen yang mempengaruhi perkembangan siswa dalam hal belajar dan menuntut ilmu. Siswa dalam satu minggu hanya enam hari di sekolah. Dan jam belajar mereka tiap masuk sekolah hanya rata-rata enam jam dalam sehari. Jadi prosentase siswa di dalam sekolah jauh lebih sedikit dibandingkan di luar sekolah di mana sudah bukan wilayah guru lagi dalam membimbing seorang anak, melainkan dibutuhkan kolaborasi dari orangtua dan lingkungan untuk memantau perkembangan mental dan intelektualitas anak. Hal ini belum berjalan sebagaimana mestinya sehingga gurulah yang seringkali disorot ketika presatsi siswa menurun. Ini jelas sebuah ganjalan yang semakin mempersulit laju perkembangan pendidikan nasional yang pada tahun lalu masih menduduki posisi 109 dunia. Bandingkan dengan negara tetangga Malaysia yang berada di posisi 61. Memperhatikan pendidikan di Indonesia maka kita akan diajak melihat sebuah drama yang penuh dengan hiruk pikuk,lika-liku, konflik, dan ending yang bermacam-macam persepsi bagi setiap penonton. Gonjang-ganjing konflik panjang pro dan kontra RUU BHP (yang akhirnya gagal juga), pro dan kontra ujian akhir nasional, problem sekolah gratis dan demo kenaikan status dan gaji guru adalah bagian kecil saja dari hamparan cerita yang mewarnai dunia pendidikan di negeri ini. Problematika dari internal siswapun masih cukup kompleks, pelik, dan patut dicermati. Kekerasan di dunia pendidikan, bullying, tawuran, pelecehan seksual, penyalahgunaan narkoba dan rokok, video porno pelajar adalah fenomena nyata yang menjadi PR besar pemerintah, para guru, praktisi pendidikan, pemerhati pendidikan dan seluruh masyarakat. Pada dasarnya secara naluriah tidaklah kita ingin anak kita menjadi korban dari apa yang telah dipaparkan di atas, juga yang kita inginkan adalah generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Kita semua ingin generasi selanjutnya merupakan produk unggul pendidikan berkualitas yang akan membawakan banyak manfaat di hari esok. Generasi emas Indonesia merupakan idaman kita. Generasi hebat, tangkas, sehat dan terampil dan sebagainya sungguh kita cita-citakan. Segala hal yang baik bisa tercapai dengan perjuangan yang keras dan komitmen tinggi. Semoga di Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010 menjadi tonggak penting perjuangan penegakan harkat dan martabat bangsa dalam pendidikan. Selama waktu masih berjalan, maka sejarah akan terus melaju mencatat segala sesuatu yang terjadi. Mari kita semua menorehkan bait-bait perjuangan dalam lembar putih pendidikan yang masih panjang membentang. |
posted by mayonal putra @ 10.01 |
|
|
|
|
Posting Komentar