|
MEMAHAMI MASALAH DENGAN PENDEKATAN AL QUR’AN |
Selasa, 22 Juni 2010 |
MEMAHAMI MASALAH DENGAN PENDEKATAN AL QUR’AN
Oleh: Mayonal Putra
Siapa yang tidak pernah mengalami “masalah” selama hidupnya? Sekiranya dimana manusia hidup tanpa “masalah”? Kenapa “masalah” begitu dekat dengan kehidupan? Kenapa “masalah” harus dipahami? Ada apa dengan masalah?
Banyak yang ingin dipertanyakan mengenai ini, tapi jawabannya tidak banyak dicari oleh yang biasa mengalaminya, sepele saja mungkin. Sementara “dia” juga sulit untuk di hindari. Ada orang menyendiri kepelosok kampung yang jauh dari keramaian untuk menghindari yang di sebut “masalah”, dia katakan dirinya stress karena sedang mengalami suatu masalah. Pertanyaannya, dimana tempat yang tidak ada masalah? di kota, di desa, kantor, sawah, ladang, di hutan? bahkan orang gila sekalipun tidak pernah tidak dihinggapi oleh yang namanya “masalah”.
Ada juga yang mengatakan karena ada masalah ada informasi. Kadang kala mengetahui masalah orang lain merupakan informasi yang sangat berguna bagi kita. Sepertinya menyenangkan sekali. Orang rela, terpaksa menghabisi nyawanya, suami dan isteri bercerai, anak-anak sekolah tawuran, pedagang kaki lima di gusur, dekan atau rektor atau kepala sekolah rela mengeluarkan anak didiknya dari lembaganya, lalu mahasiswa berdemo memadati jalan-jalan utama kota sampai pertumpahan darah, ribuan karyawan di PHK, jutaan buruh berdemonstrasi, anggota dewan tak jadi sidang karena nonton bola, anggota dewan tertidur dimeja sidang, pejabat masuk penjara, turun pangkat dan lari keluar negeri, pertumpahan darah, pembakaran dan banyak lagi yang tak mungkin disebut satu-satu. Mengapa mereka? Mereka ada masalah atau mereka sedang bermasalah. Begitu jawaban yang kerap akrab ditelinga. Satu kata yang dikambinghitamkan oleh milyaran manusia dari tahun ketahun, hingga berabad-abad lamanya. Semua orang pula tidak ingin dihinggapi olehnya, dan bahkan tidak ingin mendapatkannya.
Anehnya, jutaan orang pula yang mencari-cari masalah; ada yang mencari 7 tahun, 6,5,4 tahun dengan biaya yang berjuta pula. “dia” harus di cari kemana-mana. Bisa-bisa menimbulkan “masalah” dalam mencari “masalah” tersebut. Banyak kasus mahasiswa minum racun karena “masalah” yang ditawarkan tidak diterima oleh pembimbing dan jurusannya di kampusnya, ada yang mengalami stress akut, ada yang tidak tamat kuliah, ada yang minggat, dan banyak kasus karena ketergantungan orang terhadap “masalah” itu. Padahal kadang kala “dia” di depan mata namun tidak mampu dijamah secara ilmiah. Bagi orang lapangan (orang yang berkecimpung dalam dunia penelitian) “masalah” begitu mahal harganya. Jadi apa masalah itu sebenarnya. Kenapa begitu penting dalam kehidupan manusia? “masalah” mungkin sesuatu yang tidak menarik untuk dikaji, tetapi perlu untuk di pahami.
Hakikat Masalah
Masalah biasanya diartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidak-sesuaian antara ide dan kenyataan, antara yang seharusnya dengan fakta, antara keinginan dan harapan, singkatnya terjadinya sesuatu yang tidak di inginkan. Arikunto, mengemukakan bahwa masalah adalah sesuatu yang tidak beres, belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diterangkan bahwa masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan), soal atau persoalan.
Menurut beberapa keterangan ayat Al-qur’an bahwa masalah itu tidak lain adalah sebuah cobaan atau ujian dari Allah SWT. kepada manusia sebagai hamba-Nya. Semua manusia pasti menghadapi masalah, sebab Allah telah memberikan beberapa ujian atau cobaan kepada hambanya dengan beberapa hal : sungguh Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan (kecemasan), kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (Q.S. 2:55)
Masalah pada hakikatnya adalah ujian atau cobaan dari Allah kepada manusia (hamba-Nya) yang harus di terima dan diatasi dengan baik dan benar, tidak hanya hal-hal yang menyakitkan atau yang pada umumnya tidak disenangi, tetapi juga bisa berupa cobaan yang baik, sesuatu yang menyenangkan dan dikehendaki umumnya manusia, seperti kekayaan, kedudukan yang tinggi, jabatan yang empuk, dan sebagainya, dan hal seperti inipun hakikatnya juga masalah. Ini juga diterangkan oleh Allah : Kami akan menguji dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebanar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu di kembalikan, ( Q.S Al-anbiya’ : 35)
Pendekatan yang dilakukan
Dalam beberapa isyarat ayat Al-qur’an bahwa dalam menghadapi masalah, baik masalah itu berupa cobaan yang menyakitkan atau buruk maupun cobaan yang baik, maka dengan berpikir rasional, yaitu dengan memfungsikan akal secara maksimal. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Albert Ellis dalam persepektif Psikologi Konseling dalam teori Rational Emotif Terapi, masalah pada hakikatnya bukan terletak pada suatu peristiwa yang terjadi tetapi justru pada keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan yang tidak rasional itu bisa berupa tuntutan-tuntutan kemutlakan dan takhayul. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan berpikir secara rasional untuk membantah dan memperdebatkan berbagai keyakinan yang irasional, sehingga timbul falsafah baru yang rasional dan realistis (salah satu teori model pendekatan konseling).
Potensi akal yang dimiliki manusia memang mampu mengatasi masalah yang dihadapi apabila ia digunakan atau difungsikan secara baik, bahkan dengan akal pula manusia mampu berkarya dan mengelola alam semesta ini. Keterangan Al-qur’an tentang potensi akal yang dimiliki manusia banyak sekali disebutkan, dengan akal inilah manusia mampu hidup berkembang, mengelola diri dan dunianya. Menurut Taimiyah, kata ‘aqal adalah masdar (kata benda-kerja, verbal noun), dari kata kerja ‘aqala ya’qulu yang berarti menggunakan akal atau berpikir, dan yang dimaksud dengan akal ialah pembawaan naluri atau gharizah yang diciptakan Allah dalam diri manusia, dengan naluri itu ia berpikir. Al-qur’an menerangkan akal itu terdapat dalam surat 2:164 “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya, dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi ; sungguh terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”
Maka dapat dikatakan bahwa akal adalah daya pikir yang ada pada manusia yang mampu digunakan untuk mengelola isi alam dengan segala peristiwanya. Al magribi dalam tafsirnya juz 2 menerangkan kutipan arti Al-qur’an surat 2:164 bahwa pada semua gejala itu terdapat bagi orang-orang yang berpikir untuk mengetahui watak dan rahasia-rahasianya. Dengan demikian dapat dibedakan antara yang bermanfaat dengan yang membahayakan, disamping dapat diketahui betapa teliti dan halusnya Maha Pencipta.
Aktivitas akal dalam proses berpikir rasional dalam Al-qur’an disebut dengan beberapa istilah, diantanya adalah,(1)nazhara, artinya melihat, memandang, merenungkan, memikirkan dan mempertimbangkan (Baca: Al-qur’an At-thariq:5 dan Al-ghasiyah:17-20), (2)Tadabbur ,artinya memikirkan, mempertimbangkan (baca :QS.Muhammad:24, An-nahl:68-69, At-thaubah:122). (3)Tafaqqur, artinya memikirkan berbagai peristiwa dan berbagai keunikan ciptaan Allah, sehingga timbul kesadaran akan kebesaran-Nya.(Baca: QS. An-nahl:68-69). (4) Tadzakkur, artinya mengingat kebesaran Allah dengan kaitan berbagai kesempurnaan ciptaan-Nya sambil memikirkan dan mengambil pelajaran.(baca: QS. An-nahl: 17,Adz-zariat:49)
Banyak lagi dijelaskan oleh Allah SWT di dalam Al qur’an sebagai pelajaran bagi manusia untuk menggunakan akal pikiran secara rasional dalam menjalankan kehidupannya. Di samping manusia memiliki akal dan mampu berpikir rasional, namun banyak juga yang tidak menggunakan akalnya secara maksimal sehingga cendrung berpikir irasional, seperti dalam teori Albert Ellis, disinilah manusia atau individu mengalami masalah yang berakibat buruk terhadap kelanjutan hidupnya(baca: Rational emotif terphy; sebuah model pendekatan konseling) dan Islam mengumpamakan sebagai binatang yang sangat buruk.(Baca: QS.Al-anfal: 22)
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pribadi yang sehat menurut Islam adalah pribadi yang mau menggunakan akal untuk berpikir rasional secara maksimal dalam menghadapi masalah yang terjadi. Al-qur’an sangat melarang menuruti ide-ide yang tidak masuk akal, tidak rasional seperti kata pasti, takhayul, dan keyakinan yang bersifat mutlak. Koheren dengan yang di sampaikan pakar teori Rational Emotif Teraphy-Albert Ellis-bahwa pribadi yang tidak sehat adalah pribadi yang terbelenggu oleh ide-ide tidak rasional dan suka menyalahkan diri sendiri maupun orang lain. Menurut Ellis, menyalahkan merupakan inti dari sebagian besar gangguan emosional.
Beberapa petunjuk Al-qur’an yang sangat rasional dalam mendekati permasalahan diantaranya adalah;(1)menyadari bahwa tidak semua usaha dan ikhtiar manusia selalu sukses dan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan, sebab manusia banyak memiliki keterbatasan, sehingga sebaiknya digunakan prinsip Insya’Allah (jika Allah berkenan) dalam setiap usaha dan tindakan(baca:QS.Al-kahfi:230-24), (2)menyakini bahwa disamping kesussahan pasti ada kemudahan(baca: QS. Al-insyirah: 5-8), (3)meyakini bahwa disamping kegagalan pasti ada keberuntungan, asal berusaha dengan sungguh-sungguh(baca:QS.Ali Imran:140 dan 191), (4)bersikap sabar dalam menghadapi masalah,(6)mengembalikan segala sesuatu pada kekuasaan Allah dengan selalu bertawakkal kepada Allahdalam setiap melakukan usaha dan tindakan
Akankah manusia mampu mengatasi masalahnya sendiri sehingga tidak terjadi malasuai, maladaptif dan sejenisnya dalam rangka meminimalisir kejahatan yang terjadi? Sehingga manusia tidak menggunakan potensi hewani dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi di zaman digital ini. Tentunya semua manusia berharap. Semoga!
Penulis adalah alumnus Konseling Islam Fakultas tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang |
posted by mayonal putra @ 04.16 |
|
|
|
|
Posting Komentar