|
masalah dan pendekatan psikologi konseling |
Sabtu, 19 Juni 2010 |
HAKIKAT MASALAH DAN PENDEKATANNYA
(Dalam Perspektif Psikologi Konseling)
oleh: Mayonal Putra, S.pd.I
Masalah merupakan hal yang setiap saat dikatakan dan bahkan setiap saat dialami oleh semua orang. Banyak dan bahkan dapat dikatakan semua orang pula tidak mau mengalaminya, namun mau tidak mau dia selalu datang. Apalagi kehidupan semakin kompleks. Begitu sulit menerkanya, memaknainya dan memahaminya. Kadang timbul pertanyaan; apa sebenarnya yang disebut dengan masalah itu? Apa betul hakikat masalah itu?
Masalah biasanya diartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidaksuaian, atau ketidakcocokan antara ide dan kenyataan, antara seharusnya dengan fakta yang ada, atau antara harapan dan realitas, dengan kata lain, terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Seperti yang dikemukaan oleh Arikunto, masalah yaitu sesuatu yang tidak beres atau belum sesuai dengan kondidsi yang seharusnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan bahwa masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan), soal, atau persoalan. Apapun namanya, umumnya masalah itu terjadi tidak dikehendaki bahkan menyakitkan, sehingga bagi sebagian orang yang tidak mampu mengenali hakikat masalah dan tidak tahu cara menghadapinya dengan baik maka ia akan menggangu kestabilan pribadi, dan terjadilah pribadi bermasalah, salahsuai, maladaptive dan sejenisnya.
Hakikat Masalah
Ada banyak teori sebenarnya yang diterapkan dalam Psikologi Konseling, yang sangat populer diantaranya adalah Psikoanalisis Terapi (Sigmund Fruid), Adlerian Terapi, Eksistensial Terapi, Klien Centered Terapi(Rogers), Gestal Terapi, Transaksional Analisis, Behaviour Terapi, Rational Emotif Terapi, Dan Reality Terapi. Masing-masing teori ini memandang hakikat masalah dalam sisi yang berbeda-beda begitu juga dengan pendekatan yang ditawarkan, namun maksudnya sama yaitu bagaimana agar masalah itu tidak mengganggu keseimbangan pribadi secara berlebihan.
Menurut pendekatan ini, manusia memiliki tiga potensi pokok yaitu; (1)potensi berpikir, baik rasional atau tidak rasional, biasanya disebut dengan lurus dan bengkok ;(2)kecenderungan untuk menjaga kelangsungan keadaan dirinya, keberadaannya, kebahagiaan, kesempatan memikirkan dan mengungkapkan dengan kata-kata, mencintai, berkomunikasi dengan orang lain, serta terjadinya pertumbuhan dan aktualisasi diri;(3)memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk merusak diri sendiri, menghindar dari memikirkan sesuatu, menunda –nunda, berulang-ulang melakukan kekeliruan, percaya pada takhayul, tidak memiliki tenggang rasa, menjadi perfeksionis, menyalahkan diri sendiri, dan menghindar adanya aktualisasi potensi pertumbuahan yang dimilikinya.
Pada hakikanya manusia tidak sempurna, karena memiliki potensi positif dan negatif, maka teori ini bersusaha untuk menolong mereka untuk mau menerima dirinya sebagai makhluk yang akan selalu membuat kesalahan namun pada saat yang bersamaan juga bisa belajar hidup damai dengan dirinya sendiri, dengan kata lain orang dapat belajar mengubah pikiran mereka menjadi positif dan tidak tertekan.
Masalah bisa juga disebut gangguan emosional, ia berasal dari keyakinan yang tidak rasional dari orang lain signifikan terjadi pada masa kanak-kanak, menciptakan dogma dan takhayul (superstitions) yang tidak rasional itu kemudian secara aktif menanamkan kembali keyakinan keliru dengan jalan memproses sugesti pada diri sendiri (autosugestion) dan pengulangan sendiri (self-repetition).
Jadi, yang menjadikan sikap disfungsional tetap hidup dan beroperasi dalam diri individu adalah karena sebagian besar pengulangan yang dibuat sendiri terhadap pikiran yang tidak rasional yang diindoktrinasikan kepada individu dulu, bukan pengulangan dari orang lain.
Masalah yang menggangu kepribadian seperti duka, menyesal dan frustrasi pada hakikatnya adalah hasil pemikiran irasional. Kualitas irasionalnya berasal dari tuntutan agar dunia ini seharusnya, seyogyanya, dan harus berbeda yang bersifat mutlak. Jadi masalah itu bukan peristiwa yang terjadi, tetapi pada pemikiran individu tentang hal yang terjadi itu.
Albert Ellis menggambarkan hakikat masalah itu dengan konsep activating event yang di beri kode dengan huruf A yang berarti keberadaan fakta suatu peristiwa, atau sikap seseorang individu, Belief yang diberi kode dengan huruf B yang berarti keyakinan si pribadi individu kepada si A, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa, kemudian emotional consequence yang diberi kode dengan huruf C yang berarti konsekwensi emosi atau reaksi si individidu, reaksi ini bisa cocok atau tidak cocok.
Peristiwa yang sedang berjalan (A) tidak menjadi penyebab pada konsekwensi emosi (C) melainkan B keyakinan si pribadi pada A. Misalnya, apabila seseorang mengalami depresi setelah diturunkan jabatannya, mungkin bukan penurunan jabatan(A) itu sendiri yang jadi penyebab reaksi dalam bentuk depresi melainkan keyakinan si pribadi (B) bahwa ia gagal, merasa di tolak, atau kehilangan jabatan.
Pendekatan yang dilakukan
Pendekatan yang dilakukan setelah mengetahui hakikat masalah ini adalah melakukan disputing intervention (meragukan/membantah yang dilambangkan dengan huruf D) terhadap pemikiran yang tidak rasional (B) agar berubah kepada keyakinan, pemikiran dan falsafah rasional yang baru (E), sehingga lahir F atau perangkat perasaan yang baru. Individu tidak lagi merasakan kecemasan yang sungguh-sungguh atau merasa tertekan, melainkan individu merasakan segala sesuatu yang sesuai dengan kondisi yang ada. Paparan ABC akan melahirkan DEF merupakan pola pendekatannya terhadap pikiran irasional menjadi rasional dalam teori terkemuka Ellis.
Disputing intervention yang berarti meragukan atau membantah yang diberi kode dengan huruf D, pada esensinya adalah aplikasi dari metode ilmiah untuk menolong klien menantang keyakinan irasional individu. (Ellis, 1986) melukiskan tiga komponen dari proses disputing intervention atau membantah dan meragukan ini; (1) individu belajar caranya mendeteksi keyakinan irasionalnya terutama kemutlakan seharusnya dan harus, sifat berlebihan, dan pelecehan pada diri sendiri.. (2)individu memperdebatkan keyakinan yang disfungsional itu dengan belajar dan mempertanyakan semua itu secara logis dan empiris dengan sekuat tenaga mempertanyakan pada diri sendiri serta berbuat untuk tidak mempercayainya;(3)individu belajar untuk mendeskriminasi keyakinan yang irasional dan yang rasional.
E, adalah falsafah efektif, yang memiliki segi praktis. Falsafah rasional yang baru dan efektif terdiri dari menggantikan pikiran yang tidak pada tempatnya dengan yang cocok. Apabila individu berhasil melakukan ini maka akan tercipta F yang berarti perangkat perasaan yang baru. Individu tidak lagi merasakan cemas yang sungguh-sungguh atau merasa tertekan, melainkan individu merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada. Sebab cara yang paling tidak baik untuk memulai merasa lebih baik adalah mengembangkan falsafah yang efektif dan rasional. Jadi orang tidak lalu menyalahkan diri sendiri serta menghukum diri sendiri berupa depresi karena terjadinya perceraian, melainkan individu mencari kesimpulan yang rasional berdasarkan empirik: “ baiklah, saya benar-benar menyayangkan karena saya di turunkan., meskipun saya ingin karir saya tetap naik dan tidak bermasalah, ternyata saya tidak menyelesaikan tugas dan kerja saya dengan baik, dunia tidak akan kiamat dibuatnya. Oleh karena kerja saya gagal tidak berarti bahwa saya orang yang gagal dalam hidup ini, dan amatlah bodoh kalau terus menerus menyalahkan diri sendiri dan mengatakan saya yang bertanggung jawab atas perceraian itu”. Akibat akhir adalah meminimalisir perasaan depresi dan mengutuk diri sendiri.(Ellis,1988)
Secara singkat restrukturisasi filosofis untuk bisa mengubah kepribadian individu yang disfungsional mempunyai langkah-langkah yaitu: (1) mengakui sepenuhnya bahwa individulah yang bertanggung jawab atas terciptanya masalah yang dialami; (2) mau menerima pendapat bahwa individu memiliki kemampuan untuk secara signifikan mengubah gangguan-ganguan itu; (3) mengakui bahwa masalah emosional banyak berasal dari keyakinan irasional; (4) dengan jelas mengamati keyakinan ini; (5) melihat nilai dari sikap meragukan keyakinan yang bodoh itu, dengan menggunakan metode yang tegas; (6) menerima kenyataan bahwa apabila individu mengharapkan adanya perbaikan sebaiknya kerja keras dengan cara emotif behavioral untuk mengadakan kontra aksi terhadap keyakinan itu dan persaan serta perbuatan yang disfungsional yang mengikutinya; dan (7) mempraktekan metode terapi rasional emotif untuk mencabut atau menggubah konsekuensi yang mengganggu itu di sisa kehidupan seseorang.
Pribadi yang sehat dalam artian tidak bermasalah yang berbuah depresi dan sejenisnya adalah pribadi yang mampu berpikir secara rasional, sebab apabila individu mampu berpikir secara rasional dalam menghadapi segala peristiwa maka akan mengalami tekanan, dimusuhi, mengasihani diri. Dengan kata lain, dengan penolakan keyakinan-keyakinan irrasional yang dilakukan dengan cara berpikir logis-empirik dapat meminimalisir atau memperbaiki emosi yang malasuai, maladaptif dan sejenisnya. Kemudian pribadi yang mau menerima dirinya sendiri meskipun ada ketidak sempurnaan pada diri tersebut. Jadi apapun adanya yang terjadi pada diri individu, mampu menerima dengan perasaan, sikap dan tindakan yang wajar. Misalnya, individu tidak perlu harus diterima dan dicintai, meskipun hal itu merupakan yang sangat diinginkan. Jadi tuntutan harus yang bersifat mutlak itu tidak perlu selalu diikuti dan dipenuhi. Sedangkan pribadi yang tidak sehat adalah pribadi yang terbelenggu oleh ide tidak rasional dan suka menyalahkan diri sendiri maupun orang lain. Bernard berpendapat bahwa menyalahkan merupakan inti dari sebagian besar gangguan emosional.
Penulis adalah alumnus Konseling Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang dan Ketua Bidang Pembinaan Aparatur Organisasi HMI Cabang Padang |
posted by mayonal putra @ 07.25 |
|
|
|
|
Posting Komentar