Mayonal Puerta Haluan Kepri
Batik begitu booming dan hangat-hangatnya di Indonesia. Model yang dirancang begitu fhasionable, bisa dinikmati oleh berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja putra dan putri, dewasa, orang tua, dan bahkan menjadi pakaian seragam wajib disejumlah sekolah, perguruan tinggi serta instansi pemerintah dan swasta. Sejak pernah diklaim Malaysia, bahwa batik bagian kebudayaan mereka, pengarajin dan pewaris seni buadaya batik bagai disengat binatang berbisa. Tidak hanya mereka, bahkan seluruh anak bangsa ikut pula tercoreng keningnya.
Sejak ASEAN UKM Expo 2009 lalu di Jakarta, timbullah niat baik Kadin se Indonesia untuk benar-benar mengatakan kepada dunia; batik adalah milik Indonesia. Akhirnya niat baik ini rampung sejak ASEAN Summit Mei 2011 di Jakarta. Yakni, menggelar perdagangan Batik Se Asean yang berpusat di Batam. Kenapa Batam? Bukan soal Batam punya atau tidak pengarajin batik, namun soal geografis dan nilai bisnis. Batam secara geografis begitu strategis, dekat dengan negara-negara semenanjung Malaya, yaitu Singapura, Malaysia bahkan Vietnam.
Tidak beberapa bulan lagi, perdagangan batik se-ASEAN itu bakal digelar di Batam. Kadin dengan sejumlah kepanitian, sibuk-sibuknya mengurus dan menyosialisasikan batik di Batam. Hal tersebut diakui ketua Kadin Batam, Nada Faza Soraya kepada Haluan Kepri beberapa hari lalu. "Pengamanahan negara-negara ASEAN kepada Batam sebagai pusat perdagangan batik, sudah menjadi perencanaan tetap dan kepanitiaannya sudah diterima Pemerintahan Kota (Pemko) Batam," kata Nada. Beberapa kegiatan sosialisasi pun sudah pula direncanakan, mulai dari lomba mewarnai batik tingkat TK, menggambar batik tingkat SD, lomba desain batik tingkat pelajar SMA, lomba fashion show batik , serta berbagai iven mendukung Batam dijadikan pusat perdagangan batik se-ASEAN bakal digelar Juli mendatang.
Sedangkan sejumlah penjual batik merasa terganggu akibat banyaknya batik Cina beredar di pasaran Batam. Menyebabkan penjualannya anjlok hingga 70 persen. Sayangnya, para konsumen pun lebih tertarik dengan batik buatan Cina tersebut. Di samping motifnya yang tidak kalah menarik, harga yang ditawarkan juga miring. Pembuatannya pun tidak secara Tulis atau Ngecap, sebagai mana adanya batik Indonesia. Jadi, batik luar negeri menggunakan printer, sekali cetak bisa menghasilkan banyak. Namun sebetulnya, kualitas batik Indonesia begitu tidak terkalahkan, karena tidak luntur seperti batik Cina. Bahannya pun bagus.
Menurut supervisor toko Batik Nusa, Juliana, sudah sejak sebulan terakhir, terjadi penurunan atas penjualan batiknya. Biasanya, dalam waktu sebulan habis 150-200 potong terjual, sedangkan sebulan terakhir menurun, terjual hanya 50 potong saja.
"Padahal, kualitas batik yang kami jual tidak diragukan lagi. Batik Solo dengan berbagai motif, seperti motif bordir tengah, motif parang, lilis, biji kopi dll. Lagi pula, batik kami ini bukan dari hasil print, tetapi dibuat dengan cara manual. Asli dari pengrarjin batik asal Solo," cetusnya.
Dia mengaku heran, apa penyebab terjadinya penurunan penjualan yang begitu drastis setelah sebulan ini. Dikirakannya, banyaknya produksi batik printing asal Cina yang beredar dengan harga yang begitu murah, sehingga batik-batik Ngecap dan Tulis yang dijual dengan harga Rp 200 ribu hingga Rp500 ribu per potong tidak laku lagi dipasaran. Biasanya omzet perbulan melebihi Rp50 juta, tetapi bulan ini hanya Rp12,5 juta.
"Yang sebenarnya batik itu hanya Batik Tulis dan Batik Ngecap, memang harganya mahal, namun proses dan bahannya mahal pula. Sedangkan masyarakat kita banyak yang belum paham dengan batik yang sebenarnya itu," tambahnya.
Bahkan, dia terangkan, proses pembuatan batik Ngecap yang dijualnya, dengan maksud hendak menunjukkan keaslian batik. Katanya, pertama Ngecap, adalah melakukan pengecapan dengan menggunakan alat cap yang berpola batik dan sudah berlumurkan di atas kain Mori. Kedua Nembok, yakni melakukan proses penutupan pola batik dengan menggunakan lilin agar warna yang sudah ada tidak tercampur oleh warna baru. Ketiga, Ngelir, yakni melakukan proses pewarnaan pada kain yang sudah dibatik. Keempat Nglorot, yakni melakukan proses penghilangan lilin dengan cara dicelupkan ke dalam air mendidih yang sudah dicampur dengan beberapa obat peluntur lilin. Kelima, Mepe, yakni melakukan pengeringan.
Walaupun sejumlah toko batik telah memberikan diskon penjualan dari 10- 50 persen, tetap saja penjualan mereka tidak seberapa. Dikatakan Juliana, batik jenis blues ibu dan Hem bapak ada didiskon hingga 50 persen. Tetapi masyarakat tidak berminat.
Hal serupa juga dialami toko batik Classic Pramoedya. Nana, karyawan toko mengaku kalau penjualannya juga menurun drastis sejak sebulan lalu. Penurunan penjualan itu hingga 50 persen. Menurutnya, terjadinya penurunan penjualan ini, bukan karena batiknya tidak bagus. Namun sebaliknya, justru masyarakat banyak tidak mengerti dengan batik yang sebenar batik. Sedangkan, produksi batik printing begitu banyak dijual di pasaran, bahkan di kaki lima walaupun kualitasnya jauh di bawah Batik Tulis dan Batik Ngecap.
Turunnya pasar batik Tulis dan batik Ngecap produksi Solo di Batam, mendapat komentar dari Kepala Dinas Perindustrian dan perdagangan (Disperindag) Batam, Ahmad Hijazi. Menurutnya, persaingan pasar biasa terjadi di Batam. Pasalnya, Batam daerah yang strategis yang terbuka untuk pedagang-pedagang dan industri luar negeri. Walaupun dia juga mengakui banyak produksi batik dengan proses printing dari Malaysia dan Cina, membuat nilai tawar batik asli tersaingi, karena masyarakat memang belum paham betul mana yang batik kebudayaan dan mana yang batik komersial. Lagi pula, menurut dia, masyarakat belum bisa menjangkau harga batik hasil dari kebudayaan kita, yang dijual begitu tinggi. Sedangkan batik yang diproduksi Malaysia dan Cina dengan proses yang begitu instan, dipasarkan dengan harga yang cukup murah.
"Dengan demikian, tetap saja kami berharap, masyarakat tidak hanya menilai dari sisi komersil saja. Lagipula Batik telah diakui sebagai pewarisan kebudayaan dunia, ya, belilah batik yang dibuat dari proses kebudayaan,"katanya.
Hal senada juga disampaikan Humas Kepanitiaan Perdagangan Batik Asean, Yunianti saat dikonfirmasi Haluan Kepri melalui telepon. Menurutnya, batik itu hanya dua saja, yakni bati tulis dan batik ngecap. Sedangkan batik dari proses hasil printing bukanlah disebut batik. Tetapi, menurutnya, persaingan pasar hal yang biasa.
"Penurunan penjualan batik asli, sebabnya karena tidak terjangkau daya belinya oleh masyarakat, karena diakui batik ngecap dan tulis dijual dengan harga mahal," katanya.
|
Posting Komentar