|
|
Jumat, 01 Oktober 2010 |
Dua Kepiluan 30 September
oleh: Mayonal Putra
30 September merupakan hari bersejerah, bagi masyarakat Indonesia umumnya serta Sumatera Barat khususnya. Dua hal besar, dengan jarak tahun yang jauh, terjadi pada tanggal yang sama. Kejadian yang menyisakan kenangan yang paling memilukan, yang paling fenomenal dan takkan terlupakan oleh masyarakat, yaitu gerakan 30 September, menurut sejarah yang besarkan dalam histeografi Orde Baru, dimotori oleh PKI. Kemudian baru terkhusus bagi Sumatera Barat, tepat satu tahun silam, gempa dahsyat dengan kekuatan tinggi (7,6/7,9 SR) melanda. Dua peristiwa itu, tentu tidak bisa di lenyapkan begitu saja, paling tidak post trauma stress disorder (PTSD )masih melekat dalam psikologis korban dan keluarganya. Persoalan PKI, dalam tulisan ini, penulis tidak mengajak kita untuk mencari aktor dibalik layar dari kejadian itu—sampai saat ini persoalan siapa yang terlibat dan propaganda ini dan itu—masih heboh diperbincangkan oleh semua orang. Namun, penulis agaknya lebih mengajak kita siapa yang betanggung jawab sebenarnya?
Kenapa tidak, akibat pemberontakan di malam 30 September, dengan di culiknya 7 orang jendral besar, yang kemudian oleh orde baru dijadikan sebagai pahlawan revolusi, memicu tuduhan kepada partai Komunis Indonesia sebagai dalangnya. Sehingga pemerintahan orde baru tak sungkan-sungkan mengeluarkan kebijakan atas penumpasan PKI keakar-akarnya. Kebijakan inilah, jika kita taksir, berapa orang meninggal pasca 30 S/PKI ? masih belum ada data pasti hingga sekarang. Ada yang mengatakan ratusan ribu nyawa, ada yang mengatakan 2 juta nyawa, tetap saja kedua angka tersebut bukanlah jumlah yang sedikit. Kalau kita kumpulkan mayat sejumlah itu di sebuah lapangan, saya kira bisa menjadi gunung mayat.
Peristiwa itu sampai hari ini masih menyisakan stigma oleh sebagian orang kepada sebagaian lain dalam masyarakat Indonesia. Karena 32 tahun lamanya anak-keturunan PKI dijadikan bulan-bulanan dalam republik yang berkedaulatan rakyat ini. Baru mereka pada masa Gus Dur mendapat angin segar kebebasan berbuat dan bekerja. Berarti sudah menjadi darah daging, stigma itu oleh sebagian yang tidak pernah kakek- neneknya masuk kedalam PKI dalam memandang sebagian masyarakat yang pernah masuk PKI. Padahal ratusan ribu jiwa keluarga mereka mati sia-sia akibat kebijakan itu. Dapat kita katakan, PKI dan turunanya, sudahlah jatuh, dihimpit jenjang pula.
Patut dipertanyakan, bagi kita hari ini, apa yang musti kita peringati sebagai penghormatan terhadap kejadian paling memilukan pada tahun 1965/66 silam itu? Biasanya pemerintah melaksanakan upacara bendera di Monumen Pancasila—yang dibuat Orde Baru karena kejadian itu—tepatnya di Lubang Buaya, kemudian diteruskan dengan tabur bunga di makam pahlawan Revolusi , di TMP Kalibata. Sebagai hari belasungkawa dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada 7 orang Dewan Jendral karena kekejaman PKI, katanya. Dan besoknya pada tanggal 1 Oktober , di berilah nama oleh Soeharto dengan hari Kesaktian Pancasila, selama orde baru diseluruh jalan di Indonesia harus terpancang bendera setengah tiang. Sementara, adakah atas nama pemerintahan RI untuk menghormati ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia yang telah di bantai? Paling tidak memberikan santunan kepada fakir miskin keturunannya yang telah di buru dan di deskreditkan selama 32 tahun lamanya. Kecuali pernah pada tanggal 29 september – 4 oktober 2006, diadakan peringatan mengenang peristiwa pembunuhan ratusan ribu-jutaan nyawa di berbagai pelosok oleh seniman dan budayawan di Universitas Indonesia. Diantara korban tragedi kemanusiaan 1965 yang hadir ketika itu adalah adalah Setiadi, Murat Aidit, Hango Sasongko, Sasuke dan Put Mainnah. Tragedi itu tidak dapat kita lenyapkan begitu saja, kepedihan bagi keluarga korban pembantaian itu masih menyisakan trauma yang dilematis dalam dirinya..
Lain halnya, dengan 30 september tahun lalu di bumi Sumatera Barat. Guncangan hebat yang melanda penduduk juga menyisakan pemandangan yang paling memilukan. Nyawa yang melayang, tidak mengalahkan jumlah nyawa yang melayang ketika pembantaian PKI keakar-akarnya puluhan tahun lalu untuk ukuran sebuah provinsi. Paling tidak, lebih dari 1. 195 orang meninggal, kerugian materil Rp 21,58 Triliun. Berdasarkan verivikasi final Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dinyatakan bahwa 249.833 unit rumah rusak berat, 114.797 unit rumah rata dengan tanah, 67.198 unit rumah rusak sedang, dan 67.838 unit rumah rusak ringan. Sudah setahun setelah kejadian, namun mereka yang korban masih merasakan kejadian itu baru kemaren saban sore. Sebab, mereka masih belum mendapatkan bantuan maksimal dari pemerintahan. Angin segar yang diutarakan oleh Gubernur Irwan Pratyitno bahwa hal tersebut di atasi dua bulan kemudian. Sedangkan kongkalingkong bantuan gempa tahun 2007 saja belumlah tuntas.
Miris benar kita mngingat kejadian masa lalu, 30 september 2009, dengan semangat gempita kita kembali bersuara; badai pasti berlalu, sumatera barat akan bangkit. Semangat itu hanya tinggal di spanduk-spanduk pemerintah yang terpajang dijalan-jalan raya, bagi mereka yang menjadi korban, hari ini mereka masih dilanda badai, mereka masih belum mampu membendung air mata yang terus saja keluar. Sedang bantuan lamban, banyak bicara dari hasil. Sampai kapan mereka akan berpisah dengan nasib malang itu?
Ketika tanggal 30 september menjelang, semua kita sibuk, pemerintah sibuk, untuk menghamburkan uang dalam rangka melaksanakan upacara peringatan, doa bersama dan seterusnya dan seterusnya. Padahal bagi mereka yang korban tidak mengkehendaki seremonial, mereka tidak mengharapkan upacara peringatan, namun mereka memerlukan bantuan, dibuatkan rumah permanen, dan dilepaskan mereka dari penjara kemiskinan. Refleksi Kedua kejadian, merupakan persoalan kemanusiaan, yang tidak dapat dipisahkan dari pemerintah dimana ia tinggal. Masa depan mereka masih dalam tanda Tanya.
(Singgalang, Minggu, 3/10/10, kolom Opini) |
posted by mayonal putra @ 23.35 |
|
|
|
|
Posting Komentar