Sertifikasi Guru: Antara Profesionalitas dan Gaji
Oleh : Maiyonal Putra
Ketua HMI Cabang Padang
Padang Ekspres • Selasa, 05/04/2011 12:38 WIB • 32 klik
”Mari kita main sekolah-sekolahan! Siapa yang mau jadi guru?” Semua anak-anak itu angkat tangan. ”Kenapa kalian berebut menjadi guru?” Mereka serentak menjawab, ”kan ada sertifikasinya..hahaha...”. (sebuah percakapan dalam pementasan teater ”Tanah Ibu”, Desember 2010).
Orang kembali berbondong-bondong ingin menjadi guru. Kabar tersiar, menjadi guru menatap masa depan yang gemilang. Karena seorang guru bisa mendapat gaji 5-6 juta rupiah per bulan setelah dinyatakan lulus sertifikasi.
Perguruan tinggi keguruan (FIP/FKIP/Tarbiyah), setiap tahun ajaran baru, selalu ”bengkak” diserbu oleh calon-calon mahasiswa. Peluang lakunya fakultas keguruan, menjadi rencana strategis bagi kampus-kampus swasta yang mulai ditinggalkan peminat, untuk membuka fakultas keguruan atau menambah jurusan/program studi (prodi).
Dengan harapan, kampus itu akan diminati kembali. Tak ayal, kampus-kampus negeri pun tidak ketinggalan untuk tidak menyia-nyiakan peluang itu. Menambah kuota penerimaan mahasiswa baru. Dengan cara memperbanyak jurusan dan program studi (prodi) serta membuka selebar-lebarnya peluang nonreguler (NR)/ekstensi. Meskipun bayarnya mahal, yang penting status (ijazah)nya negeri.
Padahal sebelumnya, ada stigma negatif tentang guru. Menjadi guru, bukanlah pekerjaan yang menjanjikan, dalam ukuran kaya. Guru, hanya pekerjaan rendahan, apabila dibandingkan dengan pekerjaan di lingkup BUMN, kantoran, pegawai di lingkup Polhukam, Hakim dan lain sebagainya. Guru hanyalah pilihan terakhir dari sebuah pekerjaan.
Lima tahun terakhir, pandangan serupa itu agak mulai bergeser. Ini terjadi akibat kompleksnya kehidupan, dahsyatnya persaingaan dan kejamnya kompetisi. Pemerintah pun membuka lebar peluang pegawai negeri sipil (PNS) untuk tenaga pengajar/guru. Menghendaki, guru-guru profesional dengan pekerjaannya.
Niat baik pemerintah ini, implikasinya meningkatkan kualitas guru, bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan yang bermuara pada kualitas bangsa. Kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan 30 Desember 2005 dan dijadikan dasar hukum untuk pelaksanaan sertifikasi pendidik. Sertifikasi pendidik ini mencakup guru dan dosen. Untuk guru disebut serifikasi guru, untuk dosen disebut sertifikasi dosen.
Manfaat sertifikasi guru ini dibatasi dalam beberapa item. Selain untuk mengangkat citra guru—sebagai ejawantahan dari tujuan yang hendak dicapai—juga berkeinginan menyelamatkan pendidikan dari praktik-praktik yang salah, baik di lembaga pendidikan sendiri maupun pada pandangan masyarakat. Item terakhir, juga memuat perihal kenaikan gaji guru, setelah dinyatakan lulus oleh Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK). Muatan yang terakhir ini menyebabkan guru-guru salah pemahaman tentang sertifikasi yang (akan) dilaluinya. Pada akhirnya tujuan sertifikasi pun bergeser dari sebuah metode atau sarana peningkatan keterujian seorang guru (profesionalitas) menjadi jalan dan sarana peningkatan gaji.
Ahmad Rizal (staf ahli klub guru) mengatakan Diklat sertifikasi guru ini hanya Diklat ”abal-abal”. Fasilitator di hampir semua institusi penyelenggara Diklat, umumnya masih kurang peduli dengan esensi Diklat. Persoalannya, penyelenggara terkesan tidak terlalu siap, dengan cara mengorting jam-jam Diklat. Seminggu Diklat kadang berjalan hanya empat hari, sedangkan honor fasilitator tetap dalam ukuran waktu sepekan. Ahmad Rizal berani mengatakan, hal demikian adalah korupsi dalam penggunaan uang negara serta terjadi manipulasi jumlah jam berlatih.
Dalam hal ini, penulis bukan tidak setuju dengan ditingkatkannya kesejahteraan guru. Sebagai orang yang pernah di tempa di dunia pendidikan, penulis malah sangat mendukung, jika kesejahteraan guru diperhatikan, demi mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Hanya saja, mempertanyakan, bagaimana praktik guru-guru dalam usahanya untuk mencapai lulus sertifikasi? Dan bagaimana pula, kompetensi guru setelah lulus sertifikasi?
Tidak dapat (kita) menutup mata dalam hal ini. Ketika sertifikasi adalah kepentingan pribadi guru yang bersangkutan, maka mereka sibuk menyiapkan persyaratan yang justru mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai agen pembelajaran, yang semestinya tidak hanya mentransformasikan ilmu dalam bobot mata pelajaran yang diasuhnya kepada peserta didik semata. Akan tetapi, lebih dari itu, membina, membimbing serta memonitoring peserta didik untuk kesempurnaan pencapaian target afektif, kognitif dan psikomotorik.
Ironis memang, cara yang demikian dikatakan meningkatkan kompetensi dan profesional guru. Jika dilihat betul praktiknya, membuat RPP, mendapatkan piagam seminar, dan syarat-syarat lain, justru mengapungkan ribuan pertanyaan. Apa sampai seradikal itukah LPTK atau perguruan tinggi penyelenggara—mata pelajaran umum tentu tempat sertifikasinya UNP sedang mata pelajaran agama fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang untuk daerah Sumatera Barat—menilai perihal sertifikasi guru? Wallahualam bisshawab. (*)
[ Red/admin
Posting Komentar