“Sekolahlah tinggi-tinggi, kelak kau akan kaya, akan mendapatkan pekerjaan yang hebat, akan melepaskan keluargamu dari jeritan kemiskinan, akan…” Pesan seorang ayah kepada anaknya. Apa jadinya, kalau pemahaman tentang kebergunaan pendidikan itu hanyalah mendapatkan pekerjaan dengan upah layak. Tidak sedikit orangtua, menjadikan orientasi masuk sekolah/perguruan tinggi tetentu, bagi anak-anaknya, mengharapkan kelak si anak dapat pekerjaan yang mampu mendongkrak stratafikasi sosial keluarga. Orientasi pendidikan yang pragmatis ini, akan cenderung menghasilkan individu-individu yang pragmatis pula, dikemudian hari. Salah satu penyebab bertambahnya angka pengangguran setiap tahun, yang didominan oleh (mereka) lulusan perguruan tinggi, adalah gengsi. Karena, persepsi yang dibangun dari awal memasuki dunia pendidikan (perguruan tinggi), mendapatkan pekerjaan yang bergengsi. Seiring perkembangan zaman, seberapa persen betul, pekerjaan—dalam pandangan sarjana itu—yang tersedia dan mampu menampung ribuan lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya? Negara tidak pernah menggaransi—perihal harapan pendidikan yang dirumuskan secara nasional—untuk memasukkan (mereka) ke dunia kerja yang jelas. Harapan (negara) terhadap pendidikan, termaktub di dalam UU nomor 20 tahun 2003 Bab II pasal 3. Jauh panggang dari api, ketika harapan pendidikan yang paling utama adalah pekerjaan. Semestinya menjadi penyadaran bagi seluruh pihak (masyarakat, orang tua, sekolah/perguruan tinggi, siswa/mahasiswa), bahwa “pekerjaan” sebagai sisi pragmatis dari harapan pendidikan, harusnya menjadi harapan kedua. Klausul undang-undang tersebut, memberikan implikasi kepada seluruh pelaku pendidikan agar mengorientasikan pendidikan untuk membangun karakter peserta didik yang mempunyai ciri-ciri pribadi sebagaimana tercantum dalam tujuan tersebut. Kegagalan Melihat hasil pendidikan dewasa ini, yang kadang kala, masyarakat awam tidak percaya lagi (untuk memasukkan anak-kemenakannya ) ke dunia pendidikan yang lebih tinggi, sebenarnya menunjukkan sebuah kesimpulan, bahwa lembaga pendidikan, sekolah /perguruan tinggi (formal, informal, non formal) gagal dalam menanamkan hakikat pendidikan kepada siswa/mahasiswanya, yang biasanya dikemas dalam bentuk orientasi. Kegagalan lembaga pendidikan tersebut, cenderung tidak akan mewujudkan harapan pendidikan yang dilalui, baik bagi diri yang bersangkutan, apalagi bagi masyarakat. Sehingga siswa/mahasiswa sebagai objek dari sekolah/perguruan tinggi menjadi orang-orang yang mengawang, tidak tahu arah, tidak tahu tujuan dan fungsi dari apa yang mereka jalani, kecuali mereka hanya mengganggap tugas-tugas pendidikan adalah sebuah tanggung jawab yang dijalani dengan terpaksa, tidak terlahir dari dalam diri, dan mengesankan bahwa sekolah/kuliah hanya sebuah prestise. Padahal, sekolah/perguruan tinggi mempunyai jadwal untuk menanamkan orientasi kepada siswa/mahasiswa baru setiap tahunnya. Kalau di sekolah biasanya disebut masa orientasi siswa (MOS), sedang di perguruan tinggi mempunyai istilah yang berbeda-beda (Unand disebut Bhakti, IAIN IB disebut Opak, UNP disebut PKMB). Masa itu sebetulnya adalah masa orientasi. Masa dimana diarahkan serta ditanamkan kepada siswa/mahasiswa hakikat pendidikan yang akan dijalani untuk beberapa tahun ke depan. Tujuannya untuk membangun karakter pribadi, cakap, kreatif dan lain sebagainya. Tidak adanya orientasi yang jelas oleh pihak sekolah kepada siswanya, yang seharusnya ditanamkan semenjak siswa itu pertama sekali sekolah, tepatnya pada masa orientasi siswa (MOS), maka siswa selaku objek dari sekolah tidak sepenuhnya menyadari, bahwa pendidikan itu adalah haknya, sebagai wahana untuk mengoptimalkan potensi, dalam rangka menumbuhkan karakter diri. Orientasi pendidikan tersebut dapat dipahami, ketika seluruh unsur dalam sebuah sekolah/perguruan tinggi tahu dengan fungsi pendidikan. Fungsi pendidikan itu dirumuskan oleh Syamsu Yusuf LN ke dalam tiga hal. Pertama, fungsi pengembangan. Menegaskan bahwa pendidikan bertanggung jawab untuk mengembangkan potensi atau keunikan individu, baik yang terkait dengan aspek intelektual, emosional, sosial, maupun moral spiritual. Kedua, fungsi penyesuaian. Dalam hal ini, Syamsu Yusuf—pakar pendidikan UPI Bandung—menegaskan bahwa pendidikan harus dapat memfasilitasi perkembangan karakteristik individu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam hal itu diantaranya adalah metode pembelajaran yang harus variatif, kaya, dan tidak menoton. Kemudian menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler sebagai media pengembangan, baik bakat maupun minat siswa/mahasiswa. Siswa/mahasiswa bukanlah robot yang harus dipaksa dalam masalah akademik semata. Mengasah kemampuan kognitif saja tidak akan menghasilkan lulusan yang luwes serta bersahaja. Maka perlu keseimbangan antara aspek kognitif, afektif serta psikomotorik. Ekstra kurikuler, merupakan wadah penyeimbang diantara ketiga aspek tersebut. Usia anak mempengaruhi penyusunan jadwal, dan kurikulum pendidikan. Tidak mungkin anak usia bermain dipaksa untuk belajar dari pagi sampai malam, sehingga tidak ada peluang baginya untuk berinteraksi dengan teman sama besarnya, dan tidak pula kesempatan baginya untuk bermain. Ada lagi kasus di sekolah bertaraf international, yang marak sejak 4 tahun silam. Dimana siswa yang membayar mahal, dilayani dengan pola khusus untuknya, agar mereka dapat memanfaatkan waktu untuk menguasai mata pelajaran saja, lalu diberikan fasilitas lengkap, tidak boleh dimarahi guru. Ini dianggap sebagai program pendidikan yang paling berkwalitas. Padahal banyak sekali “tidak sesuainya” dengan cita-cita dan orientasi pendidikan nasional secara ideal. Adanya pembedaan cara, gaya, pelayanan serta fasilitas belajar antara anak regular dengan anak non regular (bertaraf internasional) tersebut, mengindikasikan bahwa pihak sekolah bagai memijak betung sebelah. Di sekolah/perguruan tinggi yang mewajibkan, bahwa akademik adalah hal yang paling utama dan tidak bisa di ganggu-gugat, cendrung mengabaikan wahana pengembangan diri peserta didik yang disebut kegiatan ekstrakurikuler tadi. Fungsi ketiga adalah fungsi integratif. Fungsi ini sangat pokok. Menegaskan pendidikan harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai sosial budaya kedalam kehidupan para peserta didik, seperti menyangkut tata karma, solidaritas, toleransi, kooperasi, kolaborasi dan empati. Mengatasi penganguran dari golongan terdidik, musti dijenguk keakar masalahnya. Sejauhmana masyarakat, termasuk keluarga, serta orang yang sedang menjalani pendidikan mampu menelaah bahwa hakikat pendidikan itu tidaklah bersifat pragmatis, tapi lebih kenilai individu yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kesemuanya itu menjadi penyadaran bersama, maka orang-orang yang menjalani pendidikan, bertanggung jawab untuk hidupnya serta pekerjaannya, sebagai out put dari pendidikan yang telah dijalani bertahun-tahun. Agar orientasi pendidikan itu terlaksana sebagaimana idealnya, selayaknya dunia pendidikan tidak ditangani oleh orang-orang non pendidikan. Dan tidak pula dapat disentuh oleh kepentingan-kepentingan tertentu, apalagi terjebak kedalam politik praktis. Untuk mengatasi masalah pendidikan, yang semakin semrawut, haruslah dengan budi pekerti yang luhur. Sebab, pelaksana pendidikan, dalam hal ini guru, menyadari betapa pentingnya profesinya itu untuk memajukan peradaban bangsa melalui pendidikan. Harapan kedua, yang berorientasi kepada pekerjaan, akan mengikut saja setelah seseorang lulus sekolah/perguruan tingggi, ketika dalam prosesnya ia benar-benar menyadari dan menekuni, bahwa pendidikn itu orientasinya adalah moral, cakap, kreatif serta bertanggung jawab. Semoga!
MAYONAL PUTRA (Staf Pengajar LPGM-Padang dan Anggota LPPI Sumatera Barat) |
Posting Komentar