Mari Mengarak Badai, kepulua Hunian Para Naga
PERJUANGAN KOE
Photobucket
Clock
Puisi
Download Lagu
  • Chairil Anwar
  • Puisi Cinta Chairil Anwar
  • WS Rendra
  • Comment
    Lembaga Pendidikan Gagal Menanamkan Orientasi Pendidikan
    Kamis, 03 Maret 2011
    PDF
    Cetak
    Surel

    (Harian Haluan ,Selasa, 01 Maret 2011 01:40)
    Sekolahlah tinggi-tinggi, kelak kau akan kaya, akan mendapatkan pekerjaan yang hebat, akan melepaskan keluargamu dari jeritan kemiskinan, akan…” Pesan seorang ayah kepada anaknya.
    Apa jadinya, kalau pema­haman tentang kebergunaan pendidikan itu hanyalah men­da­patkan pekerjaan dengan upah layak. Tidak sedikit orangtua, menjadikan orientasi masuk sekolah/perguruan tinggi tetentu, bagi anak-anaknya, mengharapkan kelak si anak dapat pekerjaan yang mampu mendongkrak stratafikasi sosial keluarga. Orientasi pendidikan yang pragmatis ini, akan cende­rung menghasilkan individu-individu yang pragmatis pula, dikemudian hari.
    Salah satu penyebab ber­tam­bahnya angka pengangguran setiap tahun, yang didominan oleh (mereka) lulusan pergu­ruan tinggi, adalah gengsi. Karena, persepsi yang dibangun dari awal memasuki dunia pendidikan (perguruan tinggi), mendapatkan pekerjaan yang bergengsi. Seiring perkem­bangan zaman, seberapa persen betul, pekerjaan—dalam panda­ngan sarjana itu—yang tersedia dan mampu menampung rib­uan lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya?
    Negara tidak pernah meng­garansi—perihal harapan pen­didikan yang dirumuskan secara nasional—untuk mema­sukkan (mereka) ke dunia kerja yang jelas. Harapan (negara) terhadap pendidikan, termaktub di dalam UU nomor 20 tahun 2003 Bab II pasal 3.
    Jauh panggang dari api, ketika harapan pendidikan yang paling utama adalah  pekerjaan.  Semestinya menjadi penyadaran bagi seluruh pihak (masyarakat, orang tua, sekolah/perguruan tinggi, siswa/mahasiswa), bahwa “pekerjaan” sebagai sisi prag­matis dari harapan pendidikan, harusnya menjadi harapan kedua. Klausul undang-undang tersebut, memberikan implikasi kepada seluruh pelaku pen­didikan agar mengorientasikan pendidikan untuk membangun karakter peserta didik yang mempunyai ciri-ciri pribadi sebagaimana tercantum dalam tujuan tersebut.
    Kegagalan
    Melihat hasil pendidikan dewasa ini, yang kadang kala, masyarakat awam tidak percaya lagi (untuk memasukkan anak-kemenakannya ) ke dunia pendidikan yang lebih tinggi, sebenarnya menunjukkan se­buah kesimpulan, bahwa lem­baga pendidikan, sekolah /perguruan tinggi (formal, informal, non formal) gagal dalam mena­namkan hakikat pendidikan kepada siswa/mahasiswanya, yang biasanya dikemas dalam bentuk orien­tasi.
    Kegagalan lembaga pendi­dikan tersebut, cenderung tidak akan mewujudkan harapan pendidikan yang dilalui, baik bagi diri yang bersangkutan, apalagi bagi masyarakat. Se­hing­ga siswa/mahasiswa sebagai objek dari sekolah/perguruan tinggi menjadi orang-orang yang mengawang, tidak tahu arah, tidak tahu tujuan dan fungsi dari apa yang mereka jalani, kecuali mereka hanya meng­ganggap tugas-tugas pendidikan adalah sebuah tanggung jawab yang dijalani dengan terpaksa, tidak terlahir dari dalam diri, dan mengesankan bahwa seko­lah/kuliah hanya sebuah prestise.
    Padahal, sekolah/perguruan tinggi mempunyai jadwal untuk menanamkan orientasi kepada siswa/mahasiswa baru setiap tahunnya. Kalau di sekolah biasanya disebut masa orientasi siswa (MOS), sedang di pergu­ruan tinggi mempunyai istilah yang berbeda-beda (Unand disebut Bhakti, IAIN IB dise­but Opak, UNP disebut PK­MB). Masa itu sebetulnya adalah masa orientasi. Masa dimana diarahkan serta dita­namkan kepada siswa/maha­siswa hakikat pendidikan yang akan dijalani untuk beberapa tahun ke depan. Tujuannya untuk membangun karakter pribadi, cakap, kreatif dan lain sebagainya.
    Tidak adanya orientasi yang jelas oleh pihak sekolah kepada siswanya, yang seha­rusnya ditanamkan semenjak siswa itu pertama sekali seko­lah, tepatnya pada masa orien­tasi siswa (MOS), maka siswa selaku objek dari sekolah tidak sepenuhnya menyadari, bahwa pendidikan itu adalah haknya, sebagai wahana untuk meng­optimalkan potensi, dalam rang­ka menumbuhkan karakter diri.
    Orientasi pendidikan terse­but dapat dipahami, ketika seluruh unsur dalam sebuah sekolah/perguruan tinggi tahu dengan fungsi pendidikan. Fungsi pendidikan itu diru­muskan oleh Syamsu Yusuf LN ke dalam tiga hal. Pertama, fungsi pengembangan. Mene­gaskan bahwa pendidikan bertanggung jawab untuk me­ngem­bangkan potensi atau keunikan individu, baik yang terkait dengan aspek inte­lektual, emosional, sosial, mau­pun moral spiritual. Kedua, fungsi penyesuaian. Dalam hal ini, Syamsu Yusuf—pakar pendidikan UPI Bandung—menegaskan bahwa pendidikan harus dapat memfasilitasi perkembangan karakteristik individu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam hal itu diantaranya adalah metode pembelajaran yang harus varia­tif, kaya, dan tidak menoton. Kemudian menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler sebagai media pengembangan, baik bakat maupun minat siswa/mahasiswa.
    Siswa/mahasiswa bukanlah robot yang harus dipaksa dalam masalah akademik semata. Mengasah kemampuan kognitif saja tidak akan menghasilkan lulusan yang luwes serta bersa­haja. Maka perlu keseimbangan antara aspek kognitif, afektif serta psikomotorik. Ekstra kurikuler, merupakan wadah penyeimbang diantara ketiga aspek tersebut.
    Usia anak mempengaruhi penyusunan jadwal, dan kuriku­lum pendidikan. Tidak mung­kin anak usia bermain dipaksa untuk belajar dari pagi sampai malam, sehingga tidak ada peluang baginya untuk berin­teraksi dengan teman sama besarnya, dan tidak pula ke­sem­patan baginya untuk ber­main.
    Ada lagi kasus di sekolah bertaraf international, yang ma­rak sejak 4 tahun silam. Di­mana siswa yang membayar ma­hal, dilayani dengan pola khu­sus untuknya, agar mereka dapat memanfaatkan waktu untuk menguasai mata pelaja­ran saja, lalu diberikan fasilitas lengkap, tidak boleh dimarahi guru. Ini dianggap sebagai program pendidikan yang paling berkwalitas. Padahal banyak sekali “tidak sesuainya” dengan cita-cita dan orientasi  pen­didikan nasional secara ideal. Adanya pembedaan cara, gaya, pelayanan serta fasilitas belajar antara anak regular dengan anak non regular (berta­raf interna­sional) tersebut, mengin­dika­sikan bahwa pihak sekolah bagai memijak betung sebelah.
    Di sekolah/perguruan tinggi yang mewajibkan, bahwa aka­demik adalah hal yang paling utama dan tidak bisa di ganggu-gugat, cendrung mengabaikan wahana pengembangan diri peserta didik yang disebut kegiatan ekstrakurikuler tadi.
    Fungsi ketiga adalah fungsi integratif. Fungsi ini sangat pokok. Menegaskan pendidikan harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai sosial budaya keda­lam kehidupan para peserta didik, seperti menyangkut tata karma, solidaritas, toleransi, kooperasi, kolaborasi dan empati.
    Mengatasi penganguran dari golongan terdidik, musti dije­nguk keakar masalahnya. Se­jauh­mana masyarakat, termasuk keluarga, serta orang yang sedang menjalani pendidikan mampu menelaah bahwa haki­kat pendidikan itu tidaklah bersifat pragmatis, tapi lebih kenilai individu yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kesemuanya itu menjadi penyadaran bersa­ma, maka orang-orang yang menjalani pendidikan, bertang­gung jawab untuk hidupnya ser­ta pekerjaannya, sebagai out put dari pendidikan yang telah dijalani bertahun-tahun.
    Agar orientasi pendidikan itu terlaksana sebagaimana idealnya, selayaknya dunia pendidikan tidak ditangani oleh orang-orang non pendidikan. Dan tidak pula dapat disentuh oleh kepentingan-kepentingan tertentu, apalagi terjebak kedalam politik praktis.
    Untuk mengatasi masalah pendidikan, yang semakin semrawut, haruslah dengan budi pekerti yang luhur. Sebab, pelaksana pendidikan, dalam hal ini guru, menyadari betapa pentingnya profesinya itu untuk memajukan peradaban bangsa melalui pendidikan. Harapan kedua, yang berorientasi kepada pekerjaan, akan mengikut saja setelah seseorang lulus sekolah/perguruan tingggi, ketika dalam prosesnya ia benar-benar me­nya­dari dan menekuni, bahwa pendidikn itu orientasinya adalah moral, cakap, kreatif serta bertanggung jawab. Se­moga!

    MAYONAL PUTRA
    (Staf Pengajar LPGM-Padang dan Anggota LPPI Sumatera Barat)

    posted by mayonal putra @ 18.00  
    0 Comments:

    Posting Komentar

    << Home
     
    About Me

    Name: mayonal putra
    Home: Padang, padang/sumbar, Indonesia
    About Me: Manyonal Putra, ayah dan ibu adalah petani di negeri kelahiran ku, Jopang manganti. Datang ke dunia, pada tanggal tiga puluh satu mei seribu sembilan ratus delapan puluh enam di dangau. Kini, sudah menjadi sarjana dan bekerja sebagai Jurnalis,... ingin lebih lanjut: 085669110810
    See my complete profile
    Previous Post
    Archives
    Links
    News
  • Google
  • Oke zone News
  • Seputar Indonesia
  • Kompas
  • Republik Indonesia
  • Detik News
  • Cari Kerja
  • Provinsi Sumatera Barat
  • Uiversitas Andalas
  • Yahoo
  • MSN
  • My Friends
  • Epaldi Bahar
  • Reno Fernandes
  • Fuad Nari
  • My Organization
  • PB HMI
  • BADKO HMI SUMBAR
  • HMI Cabang Padang
  • FORAHMI
  • Powered by

    BLOGGER

    © MAYONAL PUTRA,Blogger Templates by Fuad Nari