Mari Mengarak Badai, kepulua Hunian Para Naga
PERJUANGAN KOE
Photobucket
Clock
Puisi
Download Lagu
  • Chairil Anwar
  • Puisi Cinta Chairil Anwar
  • WS Rendra
  • Comment
    SBI, Membangun Konstruksi Nilai atau Materi
    Rabu, 24 Agustus 2011

    SBI, Membangun Konstruksi Nilai atau Materi/ Harian Haluan PDF Cetak Surel
    Selasa, 02 Agustus 2011 02:24
    Beberapa tahun lalu, sekitar 2005-2009, Sekolah Berstrandar Internasional (SBI) di atas angin. Orang tua siswa berebut memasukkan anaknya ke sekolah Rintisan SBI itu. Nyaris, tak ada kritikan terhadap program itu.
    Namun, Satria Dharma, Ketua IGI sudah menyatakan sikap jelas untuk menolak program itu dengan alasan begitu rasional. Menurutnya, SBI menjadi dile­matis yang panjang. Seperti ada kejanggalan dan kesenjangan dengan cita-cita pendidikan. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan alasan Satria Dharma, yang kembali disampaikannya secara tegas tentang 10 utama kelemahan SBI dalam petisi pendidikan di hadapan anggota komisi X DPR RI, pada Maret lalu. Namun demikian, penulis lebih cenderung melihat dilema  itu dengan kontruksi pemikiran  yang berkembang.
    Bias SBI ini, jangankan siswa, guru yang mengajar di sekolah pun merasa bangga, serasa di atas dari guru sekolah lain. Tak dinyana, orangtua siswa merasa anaknya sudah ngeh betul. Seolah-olah, seko­lah di SBI  menjadi life style dalam harkat orang-orang kelas ekonomi atas. Konstruksi yang terbangun di tengah-tengah masyarakat, “anak­nya lebih hebat”.
    Konstruksi  yang terbangun tanpa dikonsensuskan itu adalah bias yang tak terelakkan. Program nonregular itu, sangat besar kemungkinannya untuk menjau­hkan karakter siswanya dengan budaya nenek-moyang­nya. Sebab SBI lebih menge­depankan mate­rialistik, dan bukan nilai-nilai. Konstruksi yang berkembang itu sarat memengaruhi  karakter siswa. Apalagi siswa tingkat SMP yang berusia  12-15 tahun. Akan cepat sekali animo itu ter­konstruksi dalam dirinya. Karena, masa remaja awal 12-15 tahun adalah masa paling labil dalam diri seseorang, yang sibuk mencari siapa dirinya. Perilaku lebih dari orang lain, akan terpola dengan sendirinya ke dalam diri siswa, lalu tumbuh selamanya.
    Tentu saja konstruksi ini berpengaruh, lambat laun lekat  hingga benar-benar menjadi karakternya. Ini memba­haya­kan. Kalimat “semakin berisi semakin merunduk”, ibarat padi, tidak berlaku dalam kon­sep ini.
    Jika ini berkembang sede­mi­kian rupa, terkontruksikan SBI  menjadi hal yang paling wah, sedangkan sekelompok siswa yang tidak disentuh oleh sekolah internasional menjadi terpinggir.  Di sinilah, sekolah gagal mena­namkan orientasi pendidikan kepada siswanya.  Substansi pendidikan yang hendak dicapai, jauh panggang dari api sedangkan sekolah bagaikan api dalam sekam. Bukankah sekolah mena­nam­kan nilai-nilai? Pertanyaan semacam ini, patut untuk dilem­par kepada (R)SBI.
    Selama empat bulan menga­mati proses belajar mengajar di salah satu sekolah RBI di Su­matera Barat ini. Ada kesim­pulan. Sekolah SBI memang disiplin terhadap waktu, tetapi ada beberapa kelemahan. Per­tama, siswa RSBI begitu “di­man­jakan”, mempunyai fasilitas serba leng­kap dan mewah.  Kalau mengajar di lokal SBI mesti hati-hati benar,  jangan sampai marah-marah, karena siswanya terpola dengan khusus. Kedua, ada sedikit pembe­daan—mungkin hanya  peman­dangan yang jarang tersingkap—perhatian guru antara siswa RSBI dengan tidak RSBI. Hal ini, cukup menyentuh sanubari dan menyinggung satu sisi kema­nusiaan kita yang paling dalam. Anehnya, ada kasus  yang tak masuk akal. Seorang ibu-ibu berseragam  jaksa ngomel-ngomel bukan karuan kepada beberapa orang guru di sekolah RSBI. Puluhan kata-kata peng­hinaan berhamburan dari mulut ibu-ibu bertubuh jangkung itu. Serasa tak berharga safari guru-guru itu dibuatnya. Mereka diam dan sesekali saja menjelaskan dengan nada begitu santun sambil tertunduk cemas. Begitu miris kejadian itu.
    Hanya perihal guru dan siswa SBI. Terjadi kesalah­pahaman yang sama sekali guru bersang­kutan tidak terjerat oleh UU kekerasan terhadap siswa.  Hanya dis komukasi antara guru dengan siswa SBI, akibatnya sisi manu­siawi dibuang jauh-jauh. Begitu istimewa siswa SBI itu. Si guru tidak berkutik dibuatnya. Maka­nya, perlu hati-hati benar mengajar siswa program khusus  nge-internasional itu.
    Dengan mengedepankan kejadian itu, penulis bukan bermaksud mengeneralisir bah­wa­sanya SBI adalah “jelek” betul. Akan tetapi, hanya kon­truksi pemikiran yang terlanjur dibangun, bahwa SBI sekolah paling ekslusif, istime­wa, khusus, bagus sekali dan seterusnya dan seterusnya. Setelah kejadian itu, memang sedikit tercipta ‘adat’, agar guru-guru hati-hati mengajar siswa SBI.
    Bukankah ini mengurangi nilai kemanusiaan di lingkup pendidikan?. Bukankah ini pendidikan yang salah orien­tasi? Lantas, pertanyaan men­dasar, masih perlukah anak kita bersekolah, jika kontruksi yang terbangun, sekolah adalah milik “orang-orang berada”?
    Kita jenguk awal abad 20 an. Terjadi perseteruan sengit antara pribumi dengan penjajah. Orang-orang asli tidak dikasih kesem­patan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Kata­kan, HIS, Mulo dan sejenisnya. Gara-gara tidak lurus meng­gunakan Bahasa Belanda, murid dipecat dari sekolah. Pedih nian zaman itu. Tetapi ulama-ulama membangun kelompok halaqah di surau-surau, menampung setiap anak yang mau belajar dari setiap golongan.
    Sebut saja, Syech Abbas Abdullah Padang Japang, meng­habiskan waktu ke tanah suci mencari sedikit ilmu kemudian ia “telorkan” ke generasinya yang dibilang bodoh oleh Belanda.  Akhirnya, basis pendidikan suraunya  menjalar. Mengantar­kan perkumpulan itu menjadi sekolah memakai sistem kalssi­kal, setelah bersi­keras arang dengan ulama-ulama tarekat, Sulaiman Arru­suli dan Syech Sa’ad Mungka. Mutunya, tidak ketinggalan dengan sekolah-sekolah Belan­da yang ada, bahkan melebihi. Itulah pesantren-pesantren. Pada hari ini, pesan­tren-pesantren itu pun nyaris diting­galkan, kecuali pesantren-pesantren mahal yang juga dipenuhi santri dari golongan orang kaya.
    Sesungguhnya perseteruan antara ulama dengan penjajah sudah kembali. Dimana, nilai-nilai mulai terpisah dari kebu­tuhan material.
    Kembali ke SBI. Betul yang dikatakan Mora Dingin dalam tulisannya, SBI, Kebijakan yang Kurang Bijak, beberapa waktu lalu di Haluan ini, bahwa tidak sedikit media memberitakan orang tua dan siswa keluhkan soal pembiayaan masuk SBI. Sedangkan output tidak ada jaminan.
    Maka tidak cukup mengaji SBI dengan jawaban normatif belaka. Sangat perlu memper­tanyakan filosofi SBI dan menjenguk filosofi pendidikan lalu mengawinkannya.
    Tentu saja, dalam hal ini, alasan Muhammad Kosim tidak dapat disalahkan, bahwa SBI berupaya untuk menciptakan daya saing bagi siswanya di kancah internasional. Mereka diper­siapkan lebih unggul di bidang sains dan Matematika. Karena itu, dibutuhkan input yang me­miliki kecerdasan lebih untuk da­pat menguasai bidang ini, dalam tulisannya; SBI, Antara Cita dan Realita di salah satu media lokal beberapa hari waktu lalu. Akan tetapi, program SBI adalah cara pandang mem­bangun generasi dari kacamata Barat, yang mengenyampingkan nilai-nilai, dan mengutamakan materi-materi. Sedangkan karakter siswa harus diteropong dari budayanya sendiri yang penuh nilai-nilai. Karena, memahami budaya sendiri, akan “merantaukan” pikiran kita ke negeri jauh, negeri tak ber­peta. Justru itu, memba­ngun ka­rakter siswa sama dengan mem­perkuat karakter bangsa tanpa mengurangi wawasan global.
    posted by mayonal putra @ 13.31  
    0 Comments:

    Posting Komentar

    << Home
     
    About Me

    Name: mayonal putra
    Home: Padang, padang/sumbar, Indonesia
    About Me: Manyonal Putra, ayah dan ibu adalah petani di negeri kelahiran ku, Jopang manganti. Datang ke dunia, pada tanggal tiga puluh satu mei seribu sembilan ratus delapan puluh enam di dangau. Kini, sudah menjadi sarjana dan bekerja sebagai Jurnalis,... ingin lebih lanjut: 085669110810
    See my complete profile
    Previous Post
    Archives
    Links
    News
  • Google
  • Oke zone News
  • Seputar Indonesia
  • Kompas
  • Republik Indonesia
  • Detik News
  • Cari Kerja
  • Provinsi Sumatera Barat
  • Uiversitas Andalas
  • Yahoo
  • MSN
  • My Friends
  • Epaldi Bahar
  • Reno Fernandes
  • Fuad Nari
  • My Organization
  • PB HMI
  • BADKO HMI SUMBAR
  • HMI Cabang Padang
  • FORAHMI
  • Powered by

    BLOGGER

    © MAYONAL PUTRA,Blogger Templates by Fuad Nari