|
TEMU RAMAH HMI DENGAN HARIAN SINGGALANG |
Minggu, 17 Oktober 2010 |
TEMU RAMAH HMI
DENGAN HARIAN SINGGALANG
Oleh; Mayonal Putra
HMI CABANG PADANG yang diketuai oleh Andri caniago mendatangi pimpinan umum Harian Independen Singgalang, H.Basril Djabar, senin (5/10) sekitar pukul 17.00 sore WIB. Dengan maksud temu ramah. Temu ramah dengan instansi terkait seperti ini merupakan salah satu program semester 1 (satu) kepengurusan Andri Caniago. Sebenarnya HMI Cabang Padang sudah pernah mendatangi beberapa instansi pemerintahan untuk bertemu ramah, seperti di awal kepengurusan Andri Caniago melalui program bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) mendatangi rumah dinas Wali Kota Padang untuk beraudiensi, serta beberapa instansi swasta lainnya. Temu ramah dengan instansi baik pemerintahan maupun swasta merupakani sebuah program yang bermanfaat untuk perkembangan organisasi. Karena, selain bisa memperkenalkan organisasi lebih mendalam bisa juga menjalin hubungan kerja selagi tidak merugikan, dan tidak pula ada kepentingan golongan. HMI masih teguh dengan sifat independensinya. Setelah ini masih ada bidang PPD menargetkan ke instansi lainnya, serta ormas dan OKP. Pengurus HMI cabang padang periode 2010-2011 ini menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah representasi dari 2900 orang anggota yang tersebar di seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di kota Padang ini. Diantaranya anggota berada di IAIN IB, UNP, UNAND, STKIP PGRI SUMBAR, UPI YPTK, UBH, ITP, UNES, BAITURRAHMAH, ATIP, dan beberpa di perguuan tinggi kesehatan di kota Padang. Kunjungan HMI Cabang Padang di sambut hangat oleh Pimpinan Umum Harian Independen Singgalang, H.Basril Djabar di ruang kerjanya. HMI yang di wakili oleh empat orang pengurus dan dua orang anggota yaitu Andri Caniago sebagai ketua umum, Fuad Nari sebagai kabid PA, Mayonal Putra sebagai kabid PAO, reno Fernandes sebagai kabid PPD, serta Revi Masta Dasta dan Epaldi mantan kabid PPD HMI Cabang Padang. H.Basril Djabar kelihatan senang sekali dengan kunjungan itu. Sehingga di awal pengurus HMI masuk, H.Basril Djabar mengatakan harapannya agar generasi muda selalu peduli dengan sekitarnya dan suka diskusi. Setelah perkenalan dari masing-masing pengurus HMI, pembicaraan pun di mulai. Pertemuan ini membahas dua topik saja. Pertama, diskusi tentang generasi muda dan manfaat membaca, kedua tentang sosialisasi program HMI cabang padang periode 2010-2011. Pembicaraan pertama mengesankan kalau secara umum generasi muda Indonesia dalam konteks kekinian tidak lagi cinta membaca. Karena menurut H.Basril Djabar, TV dengan bermacam tayangannya, serta elektronik yang memudahkan kerja manusia mampu menarik perhatian generasi muda. Sehingga sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya untuk melakukan hal-hal yang instan dalam rangka mencapai kepuasan individu. Sedangkan buku-buku bacaan dipinggirkan, apalagi surat kabar hari ini. Imbuhnya sambil terkekeh-kekeh karena semangat. Kemudian beliau juga mendorong generasi muda agar gemar menulis. “Singgalang sangat menghargai penulis-penulis muda yang produktif”, begitu imbuhnya. HMI terpancing dengan pandangan H.basril Djabar itu, dan mereka juga mengeluarkan beberapa pandangannya terhadap generasi muda dalam konteks kekinian. Hasilnya hampir sama, jauh lebih sedikit mahasiswa yang suka membaca dan menulis dibandingkan dengan mahasiswa yang hobi menonton dan gemar meng-kopi paste. Pimpinan Umum H. Basril Djabar, pada pertemuan itu memuji pengurus HMI yang masih berpandangan jauh kedepan demi masa depan yang cemerlang. Kata beliau, “anak-anak HMI tidak ada yang bodoh, jika pun bodoh, itu hanya bentuknya, namun akalnya tak pernah hilang, hahahahaha, saya bangga dengan adek-adek HMI”. Pertemuan ini, H.basril Djabar selaku Pimpinan Umum Harian Independen Singgalang, membuka diri untuk HMI Cabang Padang melakukan diskusi bulanan di ruang diskusi Harian Singgalang. HMI Cabang Padang merespon baik tawaran itu. HMI cabang padang juga mengatakan program terdekatnya, yaitu mengadakan Intermediate Training Tingkat Nasional. Latihan ini diadakan pada tanggal 23 bulan ini. HMI meminta H.Basril Djabar sebagai salah satu pemateri dalam kegiatan itu nantinya. Sekaligus, Insyaallah akan diadakan kunjungan dan temu banding peserta training ke Harian Singgalang pada hari terakhir training nantinya. Paling tidak memperkenalkan kerja di surat kabar kepada peserta. Mendengar paparan itu, H. Basril Djabar sangat gembira, beliau langsung mengatakan kesediaannya. Pembicaraan ini berakhir pada pukul 18.10 WIB. Pembicaraan itu sangat mengesankan walau di luar hujan sangat deras. (di muat di Harian Singgalang, 10/10/2010 ) |
posted by mayonal putra @ 08.35 |
|
|
enzo |
|
enzo |
posted by mayonal putra @ 08.26 |
|
|
|
Jumat, 01 Oktober 2010 |
Dua Kepiluan 30 September
oleh: Mayonal Putra
30 September merupakan hari bersejerah, bagi masyarakat Indonesia umumnya serta Sumatera Barat khususnya. Dua hal besar, dengan jarak tahun yang jauh, terjadi pada tanggal yang sama. Kejadian yang menyisakan kenangan yang paling memilukan, yang paling fenomenal dan takkan terlupakan oleh masyarakat, yaitu gerakan 30 September, menurut sejarah yang besarkan dalam histeografi Orde Baru, dimotori oleh PKI. Kemudian baru terkhusus bagi Sumatera Barat, tepat satu tahun silam, gempa dahsyat dengan kekuatan tinggi (7,6/7,9 SR) melanda. Dua peristiwa itu, tentu tidak bisa di lenyapkan begitu saja, paling tidak post trauma stress disorder (PTSD )masih melekat dalam psikologis korban dan keluarganya. Persoalan PKI, dalam tulisan ini, penulis tidak mengajak kita untuk mencari aktor dibalik layar dari kejadian itu—sampai saat ini persoalan siapa yang terlibat dan propaganda ini dan itu—masih heboh diperbincangkan oleh semua orang. Namun, penulis agaknya lebih mengajak kita siapa yang betanggung jawab sebenarnya?
Kenapa tidak, akibat pemberontakan di malam 30 September, dengan di culiknya 7 orang jendral besar, yang kemudian oleh orde baru dijadikan sebagai pahlawan revolusi, memicu tuduhan kepada partai Komunis Indonesia sebagai dalangnya. Sehingga pemerintahan orde baru tak sungkan-sungkan mengeluarkan kebijakan atas penumpasan PKI keakar-akarnya. Kebijakan inilah, jika kita taksir, berapa orang meninggal pasca 30 S/PKI ? masih belum ada data pasti hingga sekarang. Ada yang mengatakan ratusan ribu nyawa, ada yang mengatakan 2 juta nyawa, tetap saja kedua angka tersebut bukanlah jumlah yang sedikit. Kalau kita kumpulkan mayat sejumlah itu di sebuah lapangan, saya kira bisa menjadi gunung mayat.
Peristiwa itu sampai hari ini masih menyisakan stigma oleh sebagian orang kepada sebagaian lain dalam masyarakat Indonesia. Karena 32 tahun lamanya anak-keturunan PKI dijadikan bulan-bulanan dalam republik yang berkedaulatan rakyat ini. Baru mereka pada masa Gus Dur mendapat angin segar kebebasan berbuat dan bekerja. Berarti sudah menjadi darah daging, stigma itu oleh sebagian yang tidak pernah kakek- neneknya masuk kedalam PKI dalam memandang sebagian masyarakat yang pernah masuk PKI. Padahal ratusan ribu jiwa keluarga mereka mati sia-sia akibat kebijakan itu. Dapat kita katakan, PKI dan turunanya, sudahlah jatuh, dihimpit jenjang pula.
Patut dipertanyakan, bagi kita hari ini, apa yang musti kita peringati sebagai penghormatan terhadap kejadian paling memilukan pada tahun 1965/66 silam itu? Biasanya pemerintah melaksanakan upacara bendera di Monumen Pancasila—yang dibuat Orde Baru karena kejadian itu—tepatnya di Lubang Buaya, kemudian diteruskan dengan tabur bunga di makam pahlawan Revolusi , di TMP Kalibata. Sebagai hari belasungkawa dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada 7 orang Dewan Jendral karena kekejaman PKI, katanya. Dan besoknya pada tanggal 1 Oktober , di berilah nama oleh Soeharto dengan hari Kesaktian Pancasila, selama orde baru diseluruh jalan di Indonesia harus terpancang bendera setengah tiang. Sementara, adakah atas nama pemerintahan RI untuk menghormati ratusan ribu nyawa rakyat Indonesia yang telah di bantai? Paling tidak memberikan santunan kepada fakir miskin keturunannya yang telah di buru dan di deskreditkan selama 32 tahun lamanya. Kecuali pernah pada tanggal 29 september – 4 oktober 2006, diadakan peringatan mengenang peristiwa pembunuhan ratusan ribu-jutaan nyawa di berbagai pelosok oleh seniman dan budayawan di Universitas Indonesia. Diantara korban tragedi kemanusiaan 1965 yang hadir ketika itu adalah adalah Setiadi, Murat Aidit, Hango Sasongko, Sasuke dan Put Mainnah. Tragedi itu tidak dapat kita lenyapkan begitu saja, kepedihan bagi keluarga korban pembantaian itu masih menyisakan trauma yang dilematis dalam dirinya..
Lain halnya, dengan 30 september tahun lalu di bumi Sumatera Barat. Guncangan hebat yang melanda penduduk juga menyisakan pemandangan yang paling memilukan. Nyawa yang melayang, tidak mengalahkan jumlah nyawa yang melayang ketika pembantaian PKI keakar-akarnya puluhan tahun lalu untuk ukuran sebuah provinsi. Paling tidak, lebih dari 1. 195 orang meninggal, kerugian materil Rp 21,58 Triliun. Berdasarkan verivikasi final Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dinyatakan bahwa 249.833 unit rumah rusak berat, 114.797 unit rumah rata dengan tanah, 67.198 unit rumah rusak sedang, dan 67.838 unit rumah rusak ringan. Sudah setahun setelah kejadian, namun mereka yang korban masih merasakan kejadian itu baru kemaren saban sore. Sebab, mereka masih belum mendapatkan bantuan maksimal dari pemerintahan. Angin segar yang diutarakan oleh Gubernur Irwan Pratyitno bahwa hal tersebut di atasi dua bulan kemudian. Sedangkan kongkalingkong bantuan gempa tahun 2007 saja belumlah tuntas.
Miris benar kita mngingat kejadian masa lalu, 30 september 2009, dengan semangat gempita kita kembali bersuara; badai pasti berlalu, sumatera barat akan bangkit. Semangat itu hanya tinggal di spanduk-spanduk pemerintah yang terpajang dijalan-jalan raya, bagi mereka yang menjadi korban, hari ini mereka masih dilanda badai, mereka masih belum mampu membendung air mata yang terus saja keluar. Sedang bantuan lamban, banyak bicara dari hasil. Sampai kapan mereka akan berpisah dengan nasib malang itu?
Ketika tanggal 30 september menjelang, semua kita sibuk, pemerintah sibuk, untuk menghamburkan uang dalam rangka melaksanakan upacara peringatan, doa bersama dan seterusnya dan seterusnya. Padahal bagi mereka yang korban tidak mengkehendaki seremonial, mereka tidak mengharapkan upacara peringatan, namun mereka memerlukan bantuan, dibuatkan rumah permanen, dan dilepaskan mereka dari penjara kemiskinan. Refleksi Kedua kejadian, merupakan persoalan kemanusiaan, yang tidak dapat dipisahkan dari pemerintah dimana ia tinggal. Masa depan mereka masih dalam tanda Tanya.
(Singgalang, Minggu, 3/10/10, kolom Opini) |
posted by mayonal putra @ 23.35 |
|
|
|
|