Mari Mengarak Badai, kepulua Hunian Para Naga
PERJUANGAN KOE
Photobucket
Clock
Puisi
Download Lagu
  • Chairil Anwar
  • Puisi Cinta Chairil Anwar
  • WS Rendra
  • Comment
    sajak
    Rabu, 18 Agustus 2010
    Dia Ganas Sekali

    Aku menunggu sepanjang watu, di batas itu, tak bosan, menghirup campuran udara berbau busuk dan panas terik, seperti ada yang menganga di depan sekali, aku semakin meruncing, membidikkan pandangan, ada yang mengelus kulit tebal punggungku, kukunya terasa mencengkram dan menusuk-nusuk, serabut punggungku tercabik,tapi tidak berdarah.


    Benar, dia menganga semakin lebar, aku mulai ketakutan, gemetaran, dingin sekali, sepertinya ada yang mengelilingiku, ada yang mengelindin pada poriku, mencabut kulit tebal ku, akhh.. tidak berdarah,

    Aku mulai terkunci, melihat banyak yang komat-kamit seperti dukunmembaca mantra, mulut-mulut yang menganga, yang busuk, dalam penungguan ku sepanjang waktu, di samping belakang, ada yang menangis, suaranya parau tersedu sedu, sepertinya, meratapi ku, dalam jangka penungguan, dan penjemputan tiba,

    Dia ganas sekali, hitam, matanya merah, ia mulai mencekekku kuat-kuat, menguliti, mencakar-cakar, aku hanya menikmati dalam pembaringan,


    Dia ganas sekali, wajahnya seram, memakai jubah putih kecoklat-coklatan, baunya amis, dia menganga mengeluarkan taring yang panjang, dan gigi depan atasnya jarang, aku gemetaran, kedinginan, sebentar lagi musim menangis, musim mengali tanah.

    Sepanjang penungguan, aku menanti dia ganas sekali,

    Kampus hijau, 2010



    Ramadhan Kali Ini

    Malam, tanggal dua bulan ramadhan,

    aku melihat bulan sabit pada langit tak berbintang,

    terangnya tak terang, dia seperti membagi dirinya pada bentuk dan rupa yang dia sukai,

    Begitukah kita, pada ramadhan Tuhan, menahan segala asa, untuk Tuhankah?

    Atau untuk perhelatan tahunan dalam syari’at,

    Ibrahim puasa, Daud puasa, Musa, dan Muhammad paling akhir, nabi-nabi tuhan semuanya puasa, untuk perhelatan tuhan atau perkabungan syetan?


    Ehh, ramadhan adalah ladang, ladang untuk bercocok tanam, menjual banyak dengan harga banyak, pembeli, pencuri, maling, zakat, wakaf, mimbar dan lain lagi, musim paceklik bagi syetan dan iblis,

    Buya ketinggalan kopiah,taraweh malam ketiga, saat bulan masih sabit pada langit tiga bintang, tapi ia berkucindan dalam mimbar, dan sakunya tebal jalan pulang,

    Ramadhan kali ini, surau di baruh, jemaah tiga orang, buya sudah tua,

    tapi do’anya panjang, tarawehnya panjang,

    buya tak tebal kantongnya pulang,

    Di masjid simpang jalan,


    malam ke empat sholat taraweh, jamaahnya bertaburan sampai keluar,

    muda-mudi makan kerupuk kuah di halaman, anak-anak main sepak tekong di halaman,

    buya komat-kamit dalam mimbar, bercucuran peluhnya, sampai bau badannya,

    pulang sakunya tebal,

    Malam ke dua puluh satu,

    ramadhan kali ini,

    surau lengang, masjid lengang,

    perempuan berkerudung putih bertaburan di tepi jalan, buya kajinya untuk saku, karena sakunya pulang tebal,

    Bulan hampir berbentuk sabit, sampai malam ke dua puluh sembilan,

    kita mendengar, perempuan memakai mukena, pulang pukul satu lewat tengah malam, lelaki berkain sarung, pulang pukul empat pagi,

    Kampus hijau, 2010



    Taksi Blue dan Asmaul Husna

    kota kita kota apa? Kota metropolitan atau kota santri?

    Atau kota bibir dalam hiasan lipsstik merah jambu?

    Kota mati dengan peradaban telah mati,

    kota kita kota petualangan,


    kota baris berbaris; di pantai barat sumatera, ada barisan garis lurus, menyusuri bentuk, dalam barisan itu semuanya sibuk peluk berpeluk, menikam tak mati,

    ada yang berdarah, ada yang anyir,

    di jalan depan taman, ada yang bertualang, transaksi taksi blue, seperti metro seksual mini,

    harga-menghargai mencari tempat perkelahian di langsungkan,

    anak siapa yang berbedak tebal dan berginju merah jingga,

    ketiaknya masuk angin, dia menjajal, memimpin barisan, memimpin pertandingan dalam kamar sewaan, bapaknya siapa?


    Siapa walikotanya? kota kita kota taksi blue, Tapi, taksi blue masih berputar-putar,

    seperti capung kena getah sayapnya, tidak tahu hinggap di ranting mana, di depan taman itu,

    di depan kantor wali kota,

    kita mendengar gemuruh, anak-anak gadis dan bujang,

    saling berkelahi, melantunkan asma-asma Allah,

    hebat sekali, siapa walikotanya?


    apa partainya? Kota kita, kota asmaul husna,

    di sudut lain, tengah pasar ada hiruk pikuk,

    siapa wali kotanya?

    kota kita namanya kota hiruk pikuk,

    Kampus hijau, 2010



    Dalam Cerita

    dalam ceruk dada mu,

    aku berdiam sesaat kau mengeja namaku,

    ketika kau tidak tahu siapa dirimu,

    dan keinginanku,

    dari kejauhan, kau jatuh dalam bening linangan mataku yang meleleh,

    kita hanya dalam cerita

    Kampus hijau, 2010


    perempuan

    Aku tidak tahu memilih siapa diantara kalian
    posted by mayonal putra @ 23.43   0 comments
    Malin Kundang Abad 21 (sebuah cerpen)
    Minggu, 15 Agustus 2010
    Malin Kundang Abad 21
    (sebuah cerpen)
    Karatau madang diulu/Babuah babungo balun/
    Marantau bujang dahulu /Di rumah baguno balun
    Itulah yang dikatakatan mamak setelah dua hari aku dinyatakan lulus dari sekolah. Senja itu, rinai cukup membasahi debu halaman. Sudah sebulan hujan tak turun di kampung kami. Seperti hatiku yang mulai mendingin, sendu dan gelisah. Harus memilih apa, di rumah, menjadi peternak sapi dan ayam kampung milik bapak. Jika senja mulai menyelimuti hari, cepat-cepat datang ke surau, mengajar anak-anak mengaji bersama Angku Datuak, yang sudah puluhan tahun menjadi guru ngaji di surau Tarok, surau kami. Ribuan muridnya pun sudah bertebaran di bumi nusantara ini bahkan keluar negeri, ada yang sudah jadi hakim, jadi politikus, ada yang menjadi dosen di Laiden University, Belanda, ada yang bekerja di pemerintahan provinsi, kabupaten sampai ditingkat nagari. Tapi Angku Datuak tetap saja menjadi guru ngaji sampai usianya sesenja ini, tidak berubah kecuali rambut di kepala sudah putih warnanya. Sampai hari ini pun, pengganti kesetiaan Angku Datuak kepada surau, untuk mengajarkan anak kemenakan mengaji, belumlah tampak. Aku sendiri, di pandang oleh ninik mamak pelanjut estafet Angku Datuak, dalam kampuang. Teramatlah berat bagiku. Enggan sekali menjalani hidup rutinitas Angku Datuak dalam abdinya terhadap surau, di kampong kami.
    Aku sudah bosan. Sudah sejak SD aku belajar di surau, tidak hanya mengaji Al quran, silek dan randai menjadi permainan biasa. Tidak seperti hari ini, anak- anak hanya mengaji dari magrib sampai sholat Isa saja. Sudah 12 tahun aku di surau Tarok ini, mulai dari belajar hingga sekarang dipercayakan Angku Datuak untuk membantunya mengajar.
    Ah, aku tidak tahu harus memilih apa, pergi sama mamak ke pulau Jawa, merantau mencari uang, bekerja di kedai kelontong milik Cina, seperti yang mamak lakoni sejak usianya masih SLTP dulu, atau tinggal di kampung halaman, membantu ayah di sawah, dan menjadi guru ngaji di surau sebagai pewaris leluhur kesetiaan Angku Datuiak? Ah, keduanya, tidak satupun kehendak hatiku. Apalagi aku seorang juara kelas, mantan ketua Osis, mantan ketua remaja surau, juara lomba MTQ, banyak piala yang ku dapat. Apalagi, nilai-nilai budaya yang kupahami, seperti dalam pelajaran BAM di MAN, dulu, “sayang ka anak di lacuti, sayang ka kampuang di tinggali”, sejatinya laki-laki minang harus merantau ke negeri jauh untuk mencari pengalaman dan membangun kampung halaman di kemudian hari. Sementara aku, adalah laki-laki yang berdarah minang asli, ayah sukunya Pitopang dan ibuku bersuku Salo. Layaknya seorang laki-laki, aku semestiya sudah memikirkan tanggng jawab, bagaimana membantu adik-adik yang masih sekolah, bagaimana bisa melepaskan bapak dan ibu dari cengkraman kesusasahan hidup yang mereka hadapi, di zaman kapitalis ini.
    ***
    Pagi yang masih buta, cericitan anak ayam, lenguhan sapi, kicauan burung- burung sawah, sudah mulai memberi sejuk ke telinga. Aku dan bapak berlomba menuju kandang ayam, untuk membuka pintu kandang. Pagi itu, bapak sudah lebih dahulu masuk ke kandang ayam, mengambil baskom tempat mengaduk makanannya. Aku balik kanan, cepat-cepat menuju kandang sapi, memikul rumput yang kusabit pagi kemaren, lalu ku masukkan ke lawak-lawak kandangnya.
    “Bagaimana yang di katakan mamak kamu kemaren?” Tanya bapak yang menghampiriku di kandang sapi. Aku hanya diam, berat untuk menjawab, dan berat pula untuk mengatakan apa yang ku kehendaki sebenarnya. Tidak mungkin ku sampaikan, ya, rasanya tidak memungkinkan sekali, “eluhku dalam hati”.
    Sinar mentari sudah mulai memanaskan kulit, pertanda waktu Duha sebentar lagi masuk. Aku dan bapak menuju sumur untuk bersih-bersih, setelah itu kami pun masuk kedalam rumah, untuk sarapan pagi. Kali ini, adik-adik libur sekolah,, karena besok kita menjalankan puasa Ramadhan. Seperti kebanyakan orang, hari ini adalah hari balimau, di kampung pasti sudah lengang, karena kebanyakan orang kampung pergi balimau, menuju tempat pemandian, dimana saja yang mereka inginkan. Bapak dan ibu, dari dulu tidak pernah kami di ajak seperti orang-orang yang pergi balimau, kami hanya di rumah saja, mandi di sumur belakang saja. Kami hanya diajarkan bagaimana meminta maaf sama keluarga.
    Tak lama kami bercerita-cerita sambil menikmati sarapan pagi, masakan ibu. Tiba-tiba mamak datang. Ia kami persilahkan masuk, ia pun ikut sarapan pagi bersama kami. Selesai sarapan, mamak mengalihkan cerita, seperti yang telah kuduga. Aku tahu maksud kedatangan mamak pagi itu. Dengan rayu bujuknya, harapan untuk merubah keadaan ekonomi, mamak berusaha meyakinkanku, bapak, ibu dan adik-adik bagimana aku bisa ikut dengannya merantau ke tanah Jawa, untuk bekerja di toko kelontong milik Cina.
    “Berpikirlah matang-matang Yung, mau jadi apa kamu di kampung ini, kapan lagi kamu membahagiakan bapak ibumu yang sudah tua ini. Tidakkah kau rindu menyekolahkan adik-adikmu, kelak dia bisa menjadi sarjana,”. Banyak sekali celotehan mamak, mulutnya terus berkomat kamit seperti dukun membaca mantra untuk pasiennya. Aku tetap saja dengan kehendak hatiku, sedikitpun tidak tergoda dengannya. Aku semakin tenggelam, ketika ia menyebut sarjana,.
    Di rumah yang sempit itu, pembicaraan kami semakin serius saja, untuk menceritakan masa depan ku, kata mamak, masa depan keluarga tergantung aku. Ini belum pernah terjadi sebelumnya, suasana tidak seperti biasanya.
    Aku memang harus merantau, aku ingin sekali. Aku bukan tidak berpikir untuk bapak, ibu dan adik-adikku, tapi bukan untuk bekerja di kelontong Cina, toko Jawa, atau toko orang Minang sekalipun. Aku ingin menuntut ilmu terlebih dahulu, aku ingin kuliah, kelak aku menjadi seorang sarjana. Seperti buya Hamka, dan sederetan ulama besar yang pergi merantau bukan mencari kekayaan duniawi, mereka mencari ilmu. Beda halnya dengan orang zaman sekarang, pergi merantau hanya untuk mendapatkan kekayaan harta. Pergeseran nilai seperti ini di ranah minang, ingin sekali aku merubahnya.
    Mendengar itu mamak menjadi marah, dia naik pitan, dia berkomat-kamit lagi. Mengatakan kuliah itu mahal, sarjanapun menganggur, dan banyak celotehan miringnya tentag kuliah dan sarjana. “Yung, kita harus belajar dengan yang sudah, kamu lihat tetangga kita, si Umar, dia itu sarjana Yung, tapi sekarang kau lihat saja dia menjadi apa, tidak bekerja, miskin, anak istrinya tidak terurus,“ alasan mamak mempengaruhi ku. Tapi entah kenapa, aku membantah mamak, memberikan harapan dan mengemukakan alasan-alasanku. Aku berusaha meyakinkan mereka semua, aku hanya butuh uang masuk dan SPP semester satu saja, setelah itu aku akan cari sendiri. Tapi mamak tetap tidak bisa menerima. “Pikirkanlah matang-matang, kau anak tua, adik-adikmu butuh sekolah, bapak ibumu sudah tua’’, setelah itu mamak pergi begitu saja. Aku diam saja, sepertinya mamak marah besar, padahal dia mau berangkat dua hari lagi. Karena lebaran mamak tidak pulang.
    Bapak memang sangat bijaksana, dia berbicara hanya sepatah-dupatah saja, bagai sabda bagi kami. Bapak orangnya begitu, tegar, dan tidak banyak bicara. ,” tetapkan pilihanmu Yung”, kata bapak meyakinkanku. “Aku benar ingin kuliah pak”, singkat saja aku jawab, mengikuti alur bapak. “Dimana kau ingin kulia?”. Aku lulus jalur PMDK di Padang, kampus ternama pulau Sumatera. Selama ini memang tak ku kabarkan sama bapak atau ibu. Daftar ulang masih ada waktu sampai seminggu siap lebaran.
    ***
    Mamak sudah berangkat ke tanah jawa, dia marah. Dia pulang sebetulnya hanya menjemputku, sekalian bersilaturrahmi karena masuk puasa. Sore yang memancarkan warna merah jingga di langit barat, udara yang sejuk, segerombolan burung sawah lewat di atas atap rumah ku. Tiba-tiba, empat orang laki-laki buncit dengan mobil kap biru tua berhenti di jalan samping rumah. Dia menanyakan bapak. Sebentar saja bapakpun mendatangi mereka, mereka menuju kandang sapi. Induk sapi itu mereka keluarkan dari kandangnya, kemudian mereka naikkan ke mobil itu. Aku terkejut, ternyata bapak menjual induk sapi yang setiap pagi dan sore aku kasih rumput. Sungguh aku tidak tahu rencana bapak seperti ini. Aku cepat-cepat ke sumur, aku sedih. “Buyung, buyung,” bapak memanggilku, cepat-cepat ku usap air mataku yang meleleh ke pipi, aku datangi bapak, seolah tidak terjadi apa-apa. Bapak dan ibu tersenyum, seakan memberikan makna yang dalam, senyuman mereka jatuh ke jantung ku, dan mengalir ke hatiku. Mereka tenggelam dalam linangan air mataku. Aku terkurung dalam teduh jiwanya.
    ***
    Hujan yang turun dari malam, masih menyisakan gerimis pagi itu. Jalan tanah di samping rumah, dihiasi becek yang dalamnya hampir selutut. Aku sudah siap dengan tasku, yang berisi ijazah MAN, baju-baju, kue, gelamai, dan ajik yang masih tersisa habis lebaran. Aku menuju jalan raya, menunggu bus menuju ke Padang. Tak lama menunggu “Bahagia” datang, membunyika klakson panjang, dan berhenti di depan ku. Ku cium tangan bapak dan ibu, ku peluk kedua adikku, aku masuk kedalam bus. Gembira, sedih, hampa, hambar, cemas, hiba, semuanya bercampur. “Bahagia” merek bus jurusan Mudiak Payakumbuh - Padang. Sopirnya sudah terkenal ngebut, sesekali memencet klakson yang mengejutkan. Kerneknya yang lihai, bergayut di pintu belakang sambil berteriak, “Padang, padang, padang, padang duduak, padang duduak”.
    ***
    Hari –hari tidak ada yang panjang, begitu singkat, sudah lima semester aku menjadi mahasiswa. Sudah tahun ke tiga aku menyandang almamater bewarna hijau itu, Demi kedjajaan bangsa, begitu visi besar kami dari kampus itu. Sudah sering pula, aku terbang mewakili almamater itu ke daerah Jawa, Medan, Makasar dan bahkan pernah ke Malaysia. Sudah sepuluh kali lebih pula aku turun aksi demontrasi, sudah sepuluh kali pula aku di usir dosen dari kelas, karena perbedaan pendapat. Sudah lebih dari sepuluh wanita pula yang menjadi pacarku. Bapak, ibu dan dua orang adikku terkadang melintasi hangar-bingar pandanganku. Payakumbuh-padang, memang tidak sejauh ke pulau jawa. Tapi pulang kampung hanya sekali-sekali. Pada liburan semesterpun hanya 2-3 hari saja. Karena aku terlalu sibuk di kampus, mengurs BEM. Bergelut dengan rekan-rekan aktifis, membicarakan pemerintahan, provinsi, Negara, menghujat pak SBY, anggota DPR, mengkritisi pak Fauzi Bahar, bahkan Barack Obama dan apa saja. Selalu membantah setiap kebijakan rektor.
    Aku memang telah malas pulang kampung, kabar bapak dan ibu hanya di ketahui lewat telpon genggam saja. Malam itu, tiba-tiba telepon genggam ku berbunyi.”assalamualikum,” waalaikum salam. Yung, minggu depan kamu pulang ya, bapak sudah tidak kuat lagi kesawah. Padi kita panen minggu depan, cepat-cepat ku lihat jadwal kegiatan aktivis ku, ah, ternyata minggu besok kosong. “pak aku minggu besok mau ke Jakarta, ada urusan mahasiswa”. Aku terpaksa berbohong, karena aku tidak lagi pandai kesawah, tidak lagi pandai beternak ayam dan sapi. Aku malu, masa aktivis mahasiswa seperti aku mau mengerjakan itu. Andai rekan-rekan mahasiswa ku di BEM tahu, begitu kerjaku di kampung, mau di surukkan kemana muka ku sebagai seorang presiden mahasiswa,yang setiap saat bergelut dengan anggota Dewan, walikota, bekerja dengan komputer. Akhh..
    Payakumbuh-Padang, 2010
    posted by mayonal putra @ 01.40   1 comments
    Mengenang Syeikh Abbas Padang Japang, Ulama Besar Minang yang hampir Terlupakan
    Sabtu, 07 Agustus 2010
    Mengenang Syeikh Abbas Padang Japang,
    Ulama Besar Minang yang hampir Terlupakan
    Oleh; Mayonal Putra
    Refleksi sejarah Padang Japang—dulu, yang terkenal kemana-mana itu—tidaklah kita rasakan sekarang ini. Dulu, nuansa intelektual dan agamis, mengurat-mengakar kepada karakter masyarakatya, sehingga sempat bertahun-tahun lamanya desa itu disebut-sebut orang. Orang tua yang punya anak remaja, di pulau Sumatera ini, rindu menyekolahkan anaknya di kampung itu. Konon kabarnya, Ir. Soekarno pernah datang menemui Syeikh Abbas Abdullah, di perguruan Darul Funun El Abbasiyah Padang Japang, tahun 1943, dan bertanya; “jika kelak Indonesia benar-benar telah merdeka, apakah kira-kira bentuknya negara ini?”, Syekh menjawab,”negara yang didirikan kelak haruslah berketuhanan yang maha esa”. Bisa jadi inilah inspirasi bagi perumus pancasila, dalam sila pertama syeikh Abbas tidak seharusnya dilupakan, selama bangsa negara ini masih ada.
    Jaranglah kita tahu bagaimana cerita sebenarnya, Padang Japang berjasa dalam menumbuh-kembangkan ilmu pengetahuan dan membela kemerdekaan Republik Indonesia ini. Kecuali cerita lama dari mulut ke telinga yang bergulir di tengah masyarakat desa itu. Ada yang mengatakan bahwa Soekarno pernah datang untuk belajar di sekolah Syeikh Abbas Abdullah itu. Ada pula yang mengatakan, Soekarno berpacaran dengan gadis desa itu, kemudian gadis itu ditinggalkannya setelah ia berangkat kembali ke Jakarta. Karena sekarang, ada perempuan tua yang agak cacat mental, yang dipercayai orang-orang bahwa dialah pacar Soekarno dulu. Kebenaran cerita yang berkembang di tengah masyarakat itu sulit juga di percaya. Haruslah diluruskan, bahwa kedatangan Ir.Soekarno, hanya meminta saran dan pituah Syeikh Abbas Abdullah yang mendunia ilmu dan namanya ketika itu.
    Sejarah
    Syeihk Abbas Abdullah yang lebih di kenal dengan Syeikh Abbas Padang Japang, dalam buku yang pernah diterbitkan oleh Islamic Centre Sumatra Barat, tahun 1981 bahwa ia termasuk salah satu dari 20 ulama terkemuka Minang Kabau, popularitasnya sekaliber dengan H. Agus Salim, Syeihk Sulaiman Arrasuli atau Inyiak Canduang, Ahmad Khatib Alminangkabawi, Imam Masjidil Haram yang terkenal itu, buya HAMKA dan sederatan ulama terkemuka lainnya. Ia dilahirkan di Padang Japang, Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 1883. Ayahnya Syeikh Abdullah yang ikut berjuang bersama Tuanku nan biru dalam perang Paderi yang di pimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.
    Sejak berumur 13 tahun beliau memberanikan diri mencapai keinginannya untuk menjadi ulama besar. Maka berangkatlah ia ke tanah suci bersama pamannya yang ingin menunaikan ibadah haji. Ketika syeikh berumur 21 tahun, setelah banyak belajar dari ulama besar di tanah suci, muncullah kerinduannya untuk pulang ke kampung halaman. Delapan tahun ia di tanah suci, Mekkah, ia pulang kampung. Membawa kitab-kitab besar. Menjadi bahan tertawaan bagi orang-orang sekampungnya ketika itu, banyak mempertanyakan untuk apa kitab-kitab besar ini.
    Semangatnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak pernah luntur. Ia pun menjadi guru di sekolah ayahnya. Ketika itu masih sangat sederhana, sistem halaqah di dalam masjid. Syeihk Abbas tidak puas dengan sistem itu, ia ingin merobah sistem dari tradisonal ayahnya kepada sistem yang lebih modern. Ia berangkat ke Bukittinggi menemui Syeihk Ibrahim Musa Parabek, dilanjutkannya perjalanannya ke Padang Panjang menemui Syeikh Abdul Karim Amrullah yang kemudian lebih dikenal buya Hamka, dan syeikh Thaib Umar di Sengayang Batu Sangkar. Dapatlah kata sepakat bahwa sitem halaqah harus diganti dengan sistem klassikal dengan kurikulum yang teratur dan bahan bacaan yang mendalam.
    Nama sekolahnya diganti dengan Madrasah Thawalib Padang Japang, setelah dapat bekerja sama dengan sekolah di Parabek, Padang Panjang dan Sungayang yang berada dalam naungan oragnisasi Sumatera Thawalib. Pembaharuannya ketika itu di sambut hangat oleh masyarakat Minang, walupun ada bertentangan dengan Syeikh Saad Mungka, Syeikh Sulaiman Arrasuli Canduang, dan Syeikh Muhammad Djamil Jaho, dan yang menganut ilmu tarekat lainnya. Syeikh Abbas Padang Japang pun ingin merubah paradigma masyarakat, bahwa memakai jas, dasi dan sistem belajar klassikal bukanlah hal yang diharamkan agama. Pehaman masyarakat sebelumnya haram karena meniru gaya kolonial Belanda yang non muslim. Syeikh Abbas merasa belum cukup ilmu dalam pertentangan itu, maka ia putuskanlah untuk berangkat lagi ketanah suci. Dalam perjalanan yang kedua ini , Syeikh Abbas mengunjungi negara-negara Islam lainnya, seperti Syria, Lebanon dan bahkan Swiss. Di Swiss itulah beliau bertemu dengan Mahmud Yunus tepatnya pada tahun 1924. Beliaupun melanjutkan perjalanan ke Mesir, Universitas Islam terkemuka, Al Azhar. Disanalah ia banyak belajar, walaupun hanya sebagai Mutsami’ namun beliau aktif dalam organisasi.
    Setelah banyak mendapat ilmu pengetahuan, iapun pulang ketanah air. Sebelum sampai di Padang Japang, ia berkunjung ke pesantren-pesantren di tanah Jawa, yang mempertemukannya dengan pemimpin Islam terkemuka, H. Agus Salim.
    Sesampainya di Padang Japang, ia menikah dengan siti Hulimah, gadis sedesanya, setelah lama membujang dan berpetualang ke manca Negara mencari ilmu pengetahuan. Syeikh Abbas melihat perkembangan sekolah-sekolah yang didirikan Belanda seperti HIS, MULO, AMS dan sebagainya, hanya teruntuk bagi bangsawan dan orang- orang kaya saja. Tersentaklah hati Syeikh Abbas untuk menggerakkan kembali Madrasah Thawalibnya dulu yang pernah ia tinggalkan. Perubahan sistempun terjadi, alat-alat banyak bertukar sesuai dengan pengalamannya di Al Azhar, Mesir. Thawalibnya menjadi pesat dan menjadi pusat pendidikan agama terkemuka, modern di Minag Kabau. Padang Japang ramai di kunjungi orang dari berbagai daerah untuk mencari ilmu agama. Alumninya tersebar keseluruh pelosok negeri dengan berbagai keahlian. Untuk mengemukakan alumninya, dapat di sebutkan Zainudin Labay El Yunusi, yang kemudian menjadi ilmuwan yang dikenal dengan filosof dari Timur. Zainudin Hamidiy yang berhasil mendirikan Ma’had islami di Payakumbuh dan Nashrudin Thaha yang berperan sebagai ulama, pengarang dan politikus yang juga menantu Syeikh.
    Pada tahun 1930, thawalib Padang Japang keluar dari Sumatera Thawalib yang berganti nama menjadi Persatuan Muslimin Indonesia atau PERMI setelah berlangsungnya kongres Sumatera Thawalib. Maka Syeikh Abbas mengganti nama madrsahnya menjadi madrasah Darul Funun El Abbasyiyah, tidak berinduk kepada PERMI. Perkembangan pun semakin meningkat, mengundang orang berdatangan dari luar daerah bahkan luar propinsi. Kolonial Belanda yang memang tidak pernah senang dengan pribumi, keiridengkian atas prestasi syeikh Abbas membuat Belanda berang, merasa tertandingi, dengan tuduhan yang macam-macam. Terjadilah penggeledahan pada tahun 1934, yang mengakibatkan terhentinya kegiatan madrasah untuk beberapa saat lamanya. Delapan tahun setelah penggeledahan itu, Soekarno tergerak hatinya untuk datang meminta saran dan pendapat Syeikh Abbas.
    Padang Japang Berjasa
    Sesudah kemerdekaan, bermacam-macam barisan rakyat untuk membela kemerdekaan bermunculan. Syeikh Abbas pernah diangkat menjadi Imam Jihad untuk daerah Minang Kabau. Pada masa agresi militer Belanda II, tahun 1949, Darul Funun pernah menjadi pusat pemerintahan propinsi. Mr. Teuku Muhammad hasan, gubernur ketika itu, berkantor di Darul Funun itu. Setelah terbentuknya PDRI, Darul Funun menjadi kantor mentri PPK dan mentri Agama PDRI. Ketika Muhammad Natsir dan Dr.J.Leimeina menjemput ketua PDRI, Mr.Syafrudin Prawiranegara, Darul Funun menjadi pusat pertemuan, orang-orang membicarakan dan merumuskan nasib tanah air, Indonesia, di situ.
    Darul Funun Kini
    Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang, meninggal pada tahun 1957. Orang-orang terkejut, perih yang sangat dalam, Minang Kabau menangis kehilangan putra terbaiknya, Darul Funun kehilangan pengasuhnya.
    Amatlah miris hati kita, melihat sekolah yang diperjuangkan seorang pahlawan, yang tak pernah ada nama jalan seperti namanya di ranah minang ini. Hampir tidak ada seorangpun dari kampung Padang Japang itu, anaknya bersekolah di sana, dan siswanya pun boleh di hitung pakai jari tangan saja. Dunia telah meodern. Semuanya serba digital, canggih. Sekolah-sekolah modern buatan pemerintah, saling berpacu menjadi sekolah internasional, dengan peralatan, sarana dan prasarana yang serba canggih pula, uang sekolahnya pun mahal. Seperti HIS, MULO,AMS dan sederetan sekolah belanda lainnya, yang teruntuk buat orang kaya-kaya saja. Sementara keberadaan darul funun El abbasiyah semakin di pinggirkan, sekolah yang pernah mengangkat harkat martabat anak-anak miskin, sebagai sebuah perpacuan intelektual dengan penjajah, ketika itu. Sejarah telah bergulir, dengan pelaku dan latar yang berbeda, namun, penjajahan pendidikan itu sama saja dengan kolonial.
    Sudah lama sekali Syeikh Abbas meninggal dunia, tahun 1957, namun ia tetap hidup dalam sanubari kita. Hanya bagi kita yang tahu sedikit saja. Atau sejarah ini tidak diturunkan oleh ninik mamak, bapak, atau ibu kepada anak-kemenakan mereka. Sehingga nyaris kita merasakan Syeikh Abbas benar-benar telah tiada. Nyaris kita kehilangan benar.
    posted by mayonal putra @ 04.00   0 comments
    posted by mayonal putra @ 03.24   0 comments
    About Me

    Name: mayonal putra
    Home: Padang, padang/sumbar, Indonesia
    About Me: Manyonal Putra, ayah dan ibu adalah petani di negeri kelahiran ku, Jopang manganti. Datang ke dunia, pada tanggal tiga puluh satu mei seribu sembilan ratus delapan puluh enam di dangau. Kini, sudah menjadi sarjana dan bekerja sebagai Jurnalis,... ingin lebih lanjut: 085669110810
    See my complete profile
    Previous Post
    Archives
    Links
    News
  • Google
  • Oke zone News
  • Seputar Indonesia
  • Kompas
  • Republik Indonesia
  • Detik News
  • Cari Kerja
  • Provinsi Sumatera Barat
  • Uiversitas Andalas
  • Yahoo
  • MSN
  • My Friends
  • Epaldi Bahar
  • Reno Fernandes
  • Fuad Nari
  • My Organization
  • PB HMI
  • BADKO HMI SUMBAR
  • HMI Cabang Padang
  • FORAHMI
  • Powered by

    BLOGGER

    © MAYONAL PUTRA,Blogger Templates by Fuad Nari