Menurut Satria Dharma—pengamat pendidikan Indonesia—mengatakan, bahwa kesalahan utama dalam pendidikan adalah tidak jelasnya tujuan ujian nasional (UN), kalau penyelenggaraan UN dimaksudkan untuk melihat bagaimana kualitas pendidikan kita secara nasional, sudah sangat jelas mubazir saja. Menurut hemat penulis, kenapa Satria Dharma mengatakan UN mubazir saja sebab hasil UN tidak mempertimbangkan nilai-nilai psikologis siswa, nilai proses, nilai analisis pribadi, nilai analisis kelas, latar belakang siswa, faktor psiko-sosial dan lain sebagainya. Sudah tentu pendidikan Indoesia hanyalah berkeinginan mencapai persoalan materialis dengan nilai angka-angka, tetapi tidak proporsional dengan nilai-nilai luhur bangsa yang dikehendaki sebenarnya. Idealnya pendidikan itu menjunjung tinggi peradaban dengan tidak mengabaikan progresifism. Melihat persoalan dalam dunia pendidikan kita dewasa ini, kenapa UN menjadi sebuah persoalan yang panjang yang menjadi perhatian utama. Apakah benar sistem UN hanya sebuah kepentingan hegemoni dari kelompok baru yang berkedok mempertimbangan kualitas? Satria Dharma mengatakan, sebuah politisasi dunia pendidikan. Padahal carut-marut lain terlalu banyak yang kita jumpai jika ditelusuri lebih jauh lagi. Katakan saja pendidik tanpa ilmu pendidikan. Jelas pengkhianatan terhadap landasan pedagogi yang semestinya menjadi pertimbangan besar bagi pelaksana pendidikan. Prof Prayitno mengistilahkan ini dengan kecelakaan pendidikan. Jika Satria Dharma mengatakan bahwa kesalahan utama itu adalah persoalan UN, maka penulis meletakkan ujung persoalannya adalah pendidik tanpa landasan pedagogi, serta pelaksana dan penyelenggara pendidikan tanpa ilmu pendidikan. Akibat dari ini sangat fatal dalam mekanisme dan kerja harian di sekolah serta hasil yang di peroleh. Punishment yang dianggap oleh pendidik (guru) tanpa ilmu pendidikan tadi bisa membuat ia terjebak—dalam kontek kekinian— ke dalam tindak penganiayaan terhadap siswa bersalah. Kebiasaan lama kerap dipraktikkan oleh guru tersebut kepada siswa seperti main pukul, jewer, usir dan tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan zaman sekarang. Seperti banyak kasus yang kita ketahui dalam media masa maupun elektronik; guru yang lulusan bukan ilmu pendidikan ditahan karena memukul siswa terlambat. Ratusan kasus serupa bermunculan setiap harinya di sepanjang Nusantara ini. Manapun di antara keduanya sebagai pemicu utama dari persoalan itu, yang penting keduanya harus menjadi perhatian pemerintah serta masyarakat. Karena buah dari dilema panjang di tubuh pendidikan itu menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tertinggal. Dalam sebuah studi perbandingan, kualitas pendidikan Indonesia menduduki posisi tiga terbawah dalam penguasaan mata pelajaran Fisika, Matematika, Biologi, dan Bahasa di antara 50 negara di dunia, kendati kerap meraih juara dalam kompetisi akademik dunia. Dalam survei lain, Indonesia mendapat nilai rata-rata E dalam rapor pendidikan dan berada di peringkat 10 di antara 14 negara berkembang di Asia Pasifik di bawah Vietnam, India, Kamboja dan Bangladesh. Reorientasi Pendidik harus memahami hakikat dan makna pendidikan itu sendiri. Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat dan negara. Dengan demikian pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan peserta didik untuk memimpin perkembangan potensi jasmani dan rohaninya kearah kesempurnaan. Pendidik harus tahu substansi tujuan pendidikan. Sudah sangat jelas bahwa pendidikan tidak hanya mengharapkan potensi akademik siswa semata, tetapi jauh dari itu. Nilai-nilai luhur bangsa untuk mencapai sebuah peradaban tinggi. Hal tersebut diataslah yang semestinya diketahui dan dicapai oleh segenap pelaksana serta penyelenggara pendidikan. Untuk mengaktualisasikan tujuan pendidikan maka pendidik harus bertanggung jawab mengantarkan manusia kearah keparipurnaan. Justru itu, pendidik dalam dunia pendidikan sangat krusial, sebab kewajibannya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan tetapi lebih di tuntut menginternalisasikan nilai-nilai pada peserta didik. Bentuk nilai yang di transformasikan adalah nilai etika atau akhlak, estetika sosial, ekonomis, politik, pengetahuan, pragmatis dan nilai-nilai ilahiyah atau ketuhanan, dan bukan hanya nilai yang sifatnya mengejar standar kelulusan yag di seragamkan secara nasional. Pendidik harus sadar akan hakikat dirinya sebagai pendidik. Apakah dirinya sebuah model percontohan atau tauladan bagi murid, atau dia hanya sebagai pekerja utuk pemenuhan kebutuhan pribadinya? Zakiah Derajat mengatakan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah laku peserta didik. Ini mengisyaratkan dan berusaha memberikan penyadaran kepada kita bahwa pendidik bukanlah kerja dalam rangka pemenuhan kebutuhannya semata tetapi lebih dari itu, yaitu pancaran tauladan dari jiwa yang penuh keikhlasan. Pendidik juga merupakan sebuah profesi yang professional dan proporsional. Bukanlah sembarangan orang yang bisa lulus kualifikasi—sebagaimana yang dimaksud oleh UU Sisdiknas di atas. Untuk meningkatkan mutu serta kepribadian sebagai salah satu upaya untuk mengantisipasi persoalan-persoalan yang terjadi dan akan terjadi.
MAYONAL PUTRA (Alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang dan Staf Pengajar LPGM Padang) |