Mari Mengarak Badai, kepulua Hunian Para Naga
PERJUANGAN KOE
Photobucket
Clock
Puisi
Download Lagu
  • Chairil Anwar
  • Puisi Cinta Chairil Anwar
  • WS Rendra
  • Comment
    DARI GALAMAI KE CAKE BUAH NAGA ,AROMA PAYAKUMBUH DI KOTA BATAM
    Rabu, 24 Agustus 2011

    PDF Cetak Surel
    Ditulis oleh Mayonal Putra/ haluan
    Minggu, 31 Juli 2011 00:00


    Ternyata galamai, makanan khas Payakumbuh-Limapuluh Kota, punya sejarah panjang. Dari penuturan masyarakat Luhak Nan Bungsu ini, usaha galamai sudah hadir sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia.
    Adalah Hj Rosneli (almar­humah) yang mengawali usaha rumahan galamai ini denga merek “Aroma” pada era tahun 1940-an. Usaha ini berkembang pesat sampai tahun 1980-an dengan menampung puluhan pekerja. Usaha ini berkembang pesat dan produknya sampai ke kota-kota di Sumatera Barat dan provinsi lainnya.
    Namun demikian, perso­alan muncul ketika dipengujung 1980 an, beberapa pekerja intinya banyak yang keluar dan mengembangkan usaha lainnya. Dan ini membuat usaha “Aro­ma” goyah.  Tapi hal ini bagi Rosneli bukan masalah besar.
    Sementara itu, dalam ren­tang 10 tahun, dari 1980-1990, di Kota Payakumbuh dan sekitarnya, tumbuh pula usaha sejenis. Ketatnya persaingan, membuat Usaha Aroma pada pertengahan tahun 1990, me­nyatakan “istirahat”. Perintis usaha rumahan yang pertama di daerah ini tak mampu berproduksi.
    Menurut cucu kandung Rosneli, Beni Saputra (30) dalam bincang-bincang dengan Haluan beberapa waktu lalu, pihak keluarga ingin meng­hidupkan Aroma dengan kema­san yang berbeda.
    “Dek banyak bona oleh-oleh di Pikumbuah, dan pasa­rannyo raso-raso agak sulik. Mako, alun yakin sajo ambo untuak mambukak usaho oleh-oleh di kampuang baliak. Sungguahpun rencana itu ado,” kata Beni Saputra yang telah 11 tahun membuka usaha di Pulau Batam, Kepulauan Riau,
    Beni Saputra sendiri salah seoranng generasi “Aroma”  juga mengembangkan usaha buah tangan di Batam. Niatnya meneruskan kreativitas nenek­nya, yang telah menghidupkan keluarga besarnya sudah diba­wanya sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Batam, tak pernah padam, bersama adiknya Rahmat Hida­yat.
    Kaluarga ambo indak digodangan dek gaji per bulan dari negara,” ungkap alumni SMK 3 Payakumbuh ini saat ditemui Haluan di Nagoya-Batam.
    Usaha Buah Naga
    Setelah berumah tangga dengan gadis cantik Melayu bernama Melani, Beni mem­bangun usaha mandiri, sekaligus meneruskan spirit Aroma gelamai Payakumbuh, semakin mantap saja. Suatu malam, Beni mengatakan keinginannya kepada istrinya, tapi ia belum memikirkan usaha rumah tangga semacam apa yang harus dilakukan.  Terbersit ide dalam pikirannya, bagaimana meman­faatkan buah naga sebagai ikon buah asal Batam itu. Beni membangkitkan nama Aroma yang telah lama “terkubur”. Buah naga pun ia olah menjadi sejenis cake (kue) dengan berbagai cita rasa.
    “Aroma akan lebih hidup lagi, walaupun di tempat yang berbeda,” ujar anak dari pasa­ngan Indra Mulia dan Ernita ini.
    Setelah melihat peluang besar, Benni  akhirnya memu­tuskan dirinya keluar dari dunia model, dan istrinya Melani, mantan pemain sinetron “Ikh­las” di SCTV itu, juga pindah kerja menjadi pegawai di salah satu bank terkenal cabang Batam.
    “Yo, bia lobiah fokus sajo ka usaho kek buah naga ko. Walaupun Aroma di payokum­buah ndak ado lai, di Batam harus awak nomor satu masa­lah oleh-oleh ko,” ucap lelaki kelahiran Payakumbuh itu.
    Sejak Mei 2011 lalu, usaha rumah tangga cake buah naga, yang diberi nama Aroma mulai diproduksi. Sedikitnya ada enam cita rasa yang ditawarkan yakni, rasa original, coklat, strawberry, Keju, blueberry dan almond. Semua rasa itu men­jadi topping dan selai sebuah cake buah naga kecuali rasa original. Sedangkan, kemasan warna yang dipilih disesuaikan pula dengan warna buah, yaitu merah.
    “Cake buah naga, produksi Aroma memang suatu kreasi makanan khas yang baru. De­ngan menggunakkan komposisi buah naga lebih banyak yang didatangkan dari perkebunan buah naga di kawasan Bare­lang,” tambah Rahmat Hidayat.
    Selain itu, Beni juga mem­punyai harapan agar usaha yang sedang dikembangkannya  men­dapat sambutan yang positif bagi perantau Minang di Batam ataupun masyarakat Sumatera Barat yang sesekali berkunjung ke Batam.
    Kalau ado urang kam­puang kito pai main-main ka Batam, mudah-mudahan oleh-oleh nan di boli tontu punyo kito ndak,” ujar Beni lagi sambil tertawa.
    Usaha yang memper­kerja­kan sebagian besar berasal dari Payakumbuh ini juga telah mendapat respons dari Peme­rintahan Kota Batam, Batam Tourism, dan Kadin Kota Batam.
    Menurut Ketua Batam Tourism, Rahman Usman, sudah bertahun-tahun petani Barelang menghasilkan buah naga yang setiap bulannya ratusan ton dijual keluar Provinsi Kepri, baru kali ini ada ide dan usaha rumah tangga yang paling menarik. Tidak hanya itu, usaha ini, akan mampu mengangkat nama Batam ke luar.
    “Setidaknya, makanan yang yang diproduksi Aroma ini, tidak mengurangi khasiat buah naga, yakni penetralisasi gula darah dalam tubuh,” terang Rahman Usman.
    Nada Faza Soraya, Ketua Kadin Kota Batam, menga­takan, mendukung langkah-langkah dan terobosan yang dilakukan Aroma dan siap bekerja sama demi kemajuan produktivitas warga Batam.
    Sugimto (51) pemilik ke­bun, juga sangat mendukung usaha ini. Menurut Sugimto, usaha makanan khas yang dikerjakan Aroma inin mem­punyai peluang bisnis yang sangat besar. Petani-petani buah naga juga merasa gembira dengan adanya kreasi oleh-oleh yang menggunakan buah naga Batam ini. n
    posted by mayonal putra @ 13.39   1 comments
    Pertarungan Zainal Berjualan di Jalan Berdebu

    PDF Cetak Surel
    Mayonal Putra/ Haluan
    Minggu, 10 Juli 2011 00:44
    Ketika berjalan di sepanjang Jalan Yos Soedarso, Batu Ampar, Batam, mungkin tidak ada terlihat hal  baru dari yang lazimnya. Biasa saja. Paling-paling hanya gumpalan debu yang membuat sesak nafas akibat lori keluar masuk pabrik. Nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan dipinggir jalan berdebu itu.
    Sebulan belakangan, ter­nyata hadir suatu peman­dangan yang baru. Lihatlah di kawasan pangkal jalan tersebut, sekitar Yos Soedarso Nomor 6, setiap sore akan ada sepeda motor bebek berbaju merah, parkir di pinggir jalan itu. Sepertinya, orang punya motor itu melawan gumpalan debu dengan ber­jualan.
    Hebat sekali bentuknya. Motor sebentuk memakai baju itu bisa terlindung dari cahaya matahari maupun hujan. Be­gitupun dengan debu yang berkepanjangan.  Tidak jauh dari motor berbaju yang di parkir dekat dengan bibir aspal, mungkin berjarak dua meter dari motor berbaju tersebut, terlihat pula seorang bapak-bapak duduk bersandar be­ralaskan karton mi instan di sebuah batang kayu yang cukup rimbun.
    Walaupun hampir seluruh hijaunya dedauanan pohon itu menjadi coklat muda akibat polusi hebat berkepanjangan. Namun, lelaki itu tetap ke­lihatan betah memajang jua­lannya di sana. Sambil me­nikmati sensasi sebatang rokok, ditengah kabut  debu yang berhembus tiap sebentar, laki-laki itu tak berhenti berharap; mudah-mudahan ada orang yang mampir.
    Zainal, lelaki 39 tahun, asal Lubuk Alung, Padang Pariaman itu, benar-benar seperti mencari sensasi untuk mengais rejeki. Dia meng­hadirkan penutup motor asal Demak di Kota Batam ini lalu menjualnya di tempat yang nyaris tak ada aktivitas pe­rekonomian, berdebu pula, namun banyak juga orang membeli.
    Sejak sebulan lalu, setiap harinya, mulai pukul 14.00-18.00, duduk di pinggir jalan sambil memajang tutup motor selalu ia lakoni. Tak ayal, tutup motor yang dijualnya itu sudah se ratusan pcs habis terjual. Sedikitnya, seratusan pcs habis per dua minggu. Luar biasa bukan?
    Karena banyak permintaan, untuk bulan ini, Zainal meme­san lebih banyak lagi, mencapai 200 pcs dalam keadaan hutang kepada distributor. Akan bisa dibayar Zainal, jika sudah habis terjual selama ‘mangkal’ di­pinggir jalan penuh debu di Kota Batam. Sama seperti awal bulan dulu, 50 pcs penutup motor yang dipesan, dengan perjanjian bayar di depan kepada distributor yang ada di Demak, ternyata habis terjual.
    Ketika dihampiri Haluan Senin (4/7) siang. Mung­kin menurut orang yang tidak memperhatikan dengan baik, kehadiran Zainal di tepi jalan tersebut hanya dianggap biasa. Tidak ada jual beli. Ya, sama sekali tidak terlihat adanya transaksi apa-apa.
    “Tidak disangka pula, sudah sebulan, setiap harinya saya menunggu pembeli datang di tempat ini, ternyata rezki tak kemana. Sudah ratusan habis terjual,” ujar bapak satu anak ini.
    Dikatakannya, penutup motor ini, juga dijual dengan harga yang cukup miring. Hanya Rp90 ribu dan penutup motor yang pakai resleting dijual dengan harga Rp100 ribu per pcs.
    “Jika Anda pandai-pandai menawar, harga akan jatuh atau lebih murah lagi,” ungkap zainal sambil tertawa.
    Baju atau penutup motor yang dijual Zainal ini, mem­punyai banyak manfaat. Ketika panas menyengat atau hujan deras, motor anda bisa ditutup. Benda ini sangat efisien untuk melindungi sepeda motor saat di parkir di tempat terbuka. Bahan benda ini sama dengan bahan jas hujan, yakni parasut anti air.
    Penutup motor yang dijual Zainal di kawasan berdebu ini, tidak hanya untuk motor bebek. Jenis metik dan motor besar, juga tersedia. Desain masing-masing jenis, sangat disesuaikan dengan bentuk motor. Pe­masangannya pun begitu prak­tis, sedangkan kualitas ba­hannya, bisa dijamin.
    Syahrul, kebetulan berhenti dan menawar baju motor yang dijual Zainal. Menurutnya, baju motor tersebut sangat menarik. Pemasangannya pun cukup enteng.
    “Bagus sekali untuk me­lindungi motor. Bahannya pun tidak tembus air. Mungkin aku memilih yang warna hi­tam,”ujarnya.
    Syahrul juga me­nya­yang­kan, kenapa Zainal men­jual di tempat ini? Kenapa tidak di pasar atau di tempat keramaian lainnya? Padahal, jualan ini adalah satu-satunya dan pertama di Batam.
    Sambil tersenyum kecut, perantau Lubuk Alung ini, hanya men­jawab, kalau ia tak punya cukup modal untuk menyewa tempat di pasar atau tempat lain. Sedangkan di pinggir jalan Yos Soedarso tersebut, tidak banyak urusan. Tidak banyak bayaran­nya.
    “Di sini rasanya kita tak mengganggu Bang. Lagian, kita kan cuma numpang parkir aja dengan memperlihatkan model jualan kita, tempatnya juga sepi kok. Ya, harapan saya cuma orang yang lalu lalang di jalan ini aja bang. Kalau di pasar, wah, ribet Bang.”
    Selain mem­bayar, banyak lagi uru­sannya. Ntar gak jadi-jadi saya jua­lannya,” ujar Zainal sambil tersenyum.
    posted by mayonal putra @ 13.37   0 comments
    SBI, Membangun Konstruksi Nilai atau Materi

    SBI, Membangun Konstruksi Nilai atau Materi/ Harian Haluan PDF Cetak Surel
    Selasa, 02 Agustus 2011 02:24
    Beberapa tahun lalu, sekitar 2005-2009, Sekolah Berstrandar Internasional (SBI) di atas angin. Orang tua siswa berebut memasukkan anaknya ke sekolah Rintisan SBI itu. Nyaris, tak ada kritikan terhadap program itu.
    Namun, Satria Dharma, Ketua IGI sudah menyatakan sikap jelas untuk menolak program itu dengan alasan begitu rasional. Menurutnya, SBI menjadi dile­matis yang panjang. Seperti ada kejanggalan dan kesenjangan dengan cita-cita pendidikan. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan alasan Satria Dharma, yang kembali disampaikannya secara tegas tentang 10 utama kelemahan SBI dalam petisi pendidikan di hadapan anggota komisi X DPR RI, pada Maret lalu. Namun demikian, penulis lebih cenderung melihat dilema  itu dengan kontruksi pemikiran  yang berkembang.
    Bias SBI ini, jangankan siswa, guru yang mengajar di sekolah pun merasa bangga, serasa di atas dari guru sekolah lain. Tak dinyana, orangtua siswa merasa anaknya sudah ngeh betul. Seolah-olah, seko­lah di SBI  menjadi life style dalam harkat orang-orang kelas ekonomi atas. Konstruksi yang terbangun di tengah-tengah masyarakat, “anak­nya lebih hebat”.
    Konstruksi  yang terbangun tanpa dikonsensuskan itu adalah bias yang tak terelakkan. Program nonregular itu, sangat besar kemungkinannya untuk menjau­hkan karakter siswanya dengan budaya nenek-moyang­nya. Sebab SBI lebih menge­depankan mate­rialistik, dan bukan nilai-nilai. Konstruksi yang berkembang itu sarat memengaruhi  karakter siswa. Apalagi siswa tingkat SMP yang berusia  12-15 tahun. Akan cepat sekali animo itu ter­konstruksi dalam dirinya. Karena, masa remaja awal 12-15 tahun adalah masa paling labil dalam diri seseorang, yang sibuk mencari siapa dirinya. Perilaku lebih dari orang lain, akan terpola dengan sendirinya ke dalam diri siswa, lalu tumbuh selamanya.
    Tentu saja konstruksi ini berpengaruh, lambat laun lekat  hingga benar-benar menjadi karakternya. Ini memba­haya­kan. Kalimat “semakin berisi semakin merunduk”, ibarat padi, tidak berlaku dalam kon­sep ini.
    Jika ini berkembang sede­mi­kian rupa, terkontruksikan SBI  menjadi hal yang paling wah, sedangkan sekelompok siswa yang tidak disentuh oleh sekolah internasional menjadi terpinggir.  Di sinilah, sekolah gagal mena­namkan orientasi pendidikan kepada siswanya.  Substansi pendidikan yang hendak dicapai, jauh panggang dari api sedangkan sekolah bagaikan api dalam sekam. Bukankah sekolah mena­nam­kan nilai-nilai? Pertanyaan semacam ini, patut untuk dilem­par kepada (R)SBI.
    Selama empat bulan menga­mati proses belajar mengajar di salah satu sekolah RBI di Su­matera Barat ini. Ada kesim­pulan. Sekolah SBI memang disiplin terhadap waktu, tetapi ada beberapa kelemahan. Per­tama, siswa RSBI begitu “di­man­jakan”, mempunyai fasilitas serba leng­kap dan mewah.  Kalau mengajar di lokal SBI mesti hati-hati benar,  jangan sampai marah-marah, karena siswanya terpola dengan khusus. Kedua, ada sedikit pembe­daan—mungkin hanya  peman­dangan yang jarang tersingkap—perhatian guru antara siswa RSBI dengan tidak RSBI. Hal ini, cukup menyentuh sanubari dan menyinggung satu sisi kema­nusiaan kita yang paling dalam. Anehnya, ada kasus  yang tak masuk akal. Seorang ibu-ibu berseragam  jaksa ngomel-ngomel bukan karuan kepada beberapa orang guru di sekolah RSBI. Puluhan kata-kata peng­hinaan berhamburan dari mulut ibu-ibu bertubuh jangkung itu. Serasa tak berharga safari guru-guru itu dibuatnya. Mereka diam dan sesekali saja menjelaskan dengan nada begitu santun sambil tertunduk cemas. Begitu miris kejadian itu.
    Hanya perihal guru dan siswa SBI. Terjadi kesalah­pahaman yang sama sekali guru bersang­kutan tidak terjerat oleh UU kekerasan terhadap siswa.  Hanya dis komukasi antara guru dengan siswa SBI, akibatnya sisi manu­siawi dibuang jauh-jauh. Begitu istimewa siswa SBI itu. Si guru tidak berkutik dibuatnya. Maka­nya, perlu hati-hati benar mengajar siswa program khusus  nge-internasional itu.
    Dengan mengedepankan kejadian itu, penulis bukan bermaksud mengeneralisir bah­wa­sanya SBI adalah “jelek” betul. Akan tetapi, hanya kon­truksi pemikiran yang terlanjur dibangun, bahwa SBI sekolah paling ekslusif, istime­wa, khusus, bagus sekali dan seterusnya dan seterusnya. Setelah kejadian itu, memang sedikit tercipta ‘adat’, agar guru-guru hati-hati mengajar siswa SBI.
    Bukankah ini mengurangi nilai kemanusiaan di lingkup pendidikan?. Bukankah ini pendidikan yang salah orien­tasi? Lantas, pertanyaan men­dasar, masih perlukah anak kita bersekolah, jika kontruksi yang terbangun, sekolah adalah milik “orang-orang berada”?
    Kita jenguk awal abad 20 an. Terjadi perseteruan sengit antara pribumi dengan penjajah. Orang-orang asli tidak dikasih kesem­patan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Kata­kan, HIS, Mulo dan sejenisnya. Gara-gara tidak lurus meng­gunakan Bahasa Belanda, murid dipecat dari sekolah. Pedih nian zaman itu. Tetapi ulama-ulama membangun kelompok halaqah di surau-surau, menampung setiap anak yang mau belajar dari setiap golongan.
    Sebut saja, Syech Abbas Abdullah Padang Japang, meng­habiskan waktu ke tanah suci mencari sedikit ilmu kemudian ia “telorkan” ke generasinya yang dibilang bodoh oleh Belanda.  Akhirnya, basis pendidikan suraunya  menjalar. Mengantar­kan perkumpulan itu menjadi sekolah memakai sistem kalssi­kal, setelah bersi­keras arang dengan ulama-ulama tarekat, Sulaiman Arru­suli dan Syech Sa’ad Mungka. Mutunya, tidak ketinggalan dengan sekolah-sekolah Belan­da yang ada, bahkan melebihi. Itulah pesantren-pesantren. Pada hari ini, pesan­tren-pesantren itu pun nyaris diting­galkan, kecuali pesantren-pesantren mahal yang juga dipenuhi santri dari golongan orang kaya.
    Sesungguhnya perseteruan antara ulama dengan penjajah sudah kembali. Dimana, nilai-nilai mulai terpisah dari kebu­tuhan material.
    Kembali ke SBI. Betul yang dikatakan Mora Dingin dalam tulisannya, SBI, Kebijakan yang Kurang Bijak, beberapa waktu lalu di Haluan ini, bahwa tidak sedikit media memberitakan orang tua dan siswa keluhkan soal pembiayaan masuk SBI. Sedangkan output tidak ada jaminan.
    Maka tidak cukup mengaji SBI dengan jawaban normatif belaka. Sangat perlu memper­tanyakan filosofi SBI dan menjenguk filosofi pendidikan lalu mengawinkannya.
    Tentu saja, dalam hal ini, alasan Muhammad Kosim tidak dapat disalahkan, bahwa SBI berupaya untuk menciptakan daya saing bagi siswanya di kancah internasional. Mereka diper­siapkan lebih unggul di bidang sains dan Matematika. Karena itu, dibutuhkan input yang me­miliki kecerdasan lebih untuk da­pat menguasai bidang ini, dalam tulisannya; SBI, Antara Cita dan Realita di salah satu media lokal beberapa hari waktu lalu. Akan tetapi, program SBI adalah cara pandang mem­bangun generasi dari kacamata Barat, yang mengenyampingkan nilai-nilai, dan mengutamakan materi-materi. Sedangkan karakter siswa harus diteropong dari budayanya sendiri yang penuh nilai-nilai. Karena, memahami budaya sendiri, akan “merantaukan” pikiran kita ke negeri jauh, negeri tak ber­peta. Justru itu, memba­ngun ka­rakter siswa sama dengan mem­perkuat karakter bangsa tanpa mengurangi wawasan global.
    posted by mayonal putra @ 13.31   0 comments
    Orang Tanah Datar Sukses Di Batam


    oleh Mayonal Puerta pada 25 Juni 2011 jam 18:59
    Jalinus Sikumbang, Berjuang dengan T-Shirt "I Love Batam"

    Lelaki berkumis itu, kini sudah dapat menghela nafas dengan tenang. Meskipun bergaya

    sederhana, namun telah sukses membangun perekonomian keluarga. Tinggal lagi

    mempergesit perjuangan, yakni mengenalkan Batam dan Kebudayaan Kepri lewat media baju

    kaos ke turis mancanegara.


    Jalinus Sikumbang yang lahir 15 Mei 1973 di Tanah Datar, Sumatera Barat itu, sejak usia 23

    tahun, telah memutuskan untuk merantau ke Pulau Batam dengan modal selembar ijazah

    SMA. Ijazah itu pulalah yang menghantarkannya dapat bekerja di sebuah PT di Kota Batam

    ini, meski keberadaannya sebagai karyawan rendahan dan gaji yang tidak bisa menjanjikan

    masa depan, namun ia begitu tekun menjalaninya.

    "Pekerjaan itu aku anggap saja sebagai suratan takdir, jadi aku terima dengan ikhlas

    pekerjaan sebagai kuli di sebuah PT", katanya menceritakan saat ditemui Haluan Kepri,

    Sabtu (25/6) siang.


    Berjalan tiga tahun, sejak tahun 1996-1999, pada suatu siang yang ganas, tiba-tiba ia

    mendapat amplop putih dari atasan. Seketika, seribu tanya hadir dalam dirinya. Ketika

    dibukanya, ternyata surat PHK.  Miris nian nasib yang ia lalui di kampung orang, seorang diri

    pula. Namun tidak meruntuhkan semangat juangnya.


    Begitu ia tidak bekerja lagi, gaji yang disisihkan sedikit demi sedikit selama tiga tahun

    sebelumnya, ia belikan sepeda motor seadanya. Lalu, mengojekpun ia lakoni untuk

    menyambung hidup, agar masih bisa berkabar ke kampung halaman di Tanah Datar sana.

    Lagi pula, ia selalu punya niat, bagaimana dengan hasil usaha rantauannya, dapat juga

    berkirim ke orang tua di kampung halaman. Padahal, ia tidak terdaftar sebagai tukang ojek

    resmi di kawasan Nagoya-Batam.  


    Mengojek selama hampir setahun, membuatnya banyak kenal dengan masyarakat di Batam.

    Akhirnya, profesi itu pun ia tinggalkan setelah dapat menyisihkan sebagian pendapatan untuk

    hari depan. Bersih Rp 1 juta uang dapat dikumpulkan Jalinus. Dengan uang itu, ia mencoba

    berjualan aksesoris di street shopping Nagoya Hill. Hari demi hari ia lalui dengan

    menggantungkan hidup di street shoping Nagoya Hill itu hingga ia menemukan ide yang

    cemerlang. Yakni mengangkat citra budaya orang Kepri dan mengenalkan Batam lewat media

    baju kaos ke turis mancanegara. Itu ia lakukan dengan modal seadanya.

    Akhirnya, Shoping street Nagoya Hill pun ia tinggalkan. Ia pesan dua kodi baju kaos oblong di

    Bukittinggi dan kebetulan temannya ada tukang sablon.


    Berawal dengan sepeda motor buntut, ia tekun  mengejar turis-turis yang melalui travel VIP

    Batam Indah Indopas. Dimana turis-turis meses, Jalinus muncul di situ sebagai penjual

    aksesoris seperti kacamata, dan baju kaos bermerek "WelCome To Batam" dan I Love

    Batam Indonesia". Dua kodi kaos sablon, habis sehari. Besoknya, ia cari kaos oblong di

    sekitar pasar di Batam saja, karena Bukittinggi terlalu jauh. Usaha nya ini menjadi sesuatu

    yang manis, sebab jualannya pun laris manis setiap harinya. Hari-hari berikutnya, Pesanan

    baju selalu meningkat.

    "Untuk berjualan dengan turis-turis, saya menggunakan Bahasa Inggris seadanya. Bahasa

    Inggris saya sangat balepotan, akhirnya karena terbiasa berjualan dengan

    pendatang-pendatang dari Barat, baru lancar," katanya.

    Bagi Jalinus, jalan usaha sudah mulai agak terang. Ia pun mempersunting Nur Lena,

    perempuan Melayu, di ranah rantauannya ini, Batam. Setelah menikah, ia semakin tekun

    menjalani pekerjaannya sebagai penjual kacamata dan baju kaos sablon amatiran. Tanpa ada

    kedai apalagi toko.


    Berkat ketekunan dan ketabahan, tahun 2003 ia bisa membeli tanah dan membangun rumah

    permanen di kawasan Nagoya, Batam.  Usahanya semakin meningkat hingga tahun 2007 ia

    dapat membeli mobil Sedan jenis toyota Vios.

    Bapak dua orang anak ini, sejak 2009 lalu sudah berpenghasilan Rp1,5 juta per hari.

    Berjualan kaos bermerek ikon Batam dengan mengejar Turis-turis yang melalui travel VIP

    Batam Indah Indopas, tidak ia tinggalkan sampai sekarang. Walaupun,  ia telah mempunyai

    stand tetap di DC Mall dan stand-stand tidak tetap di setiap event-event dan

    pameran-pameran dengan dua orang karyawan.


    Sekarang ia telah mampu membayar setiap kali mengikuti Expo melalui organizer sebesar Rp

    6 juta per 16 hari. Ditambah pula dengan sewa stand di DC Mall Rp3 juta per bulan, dan Rp

    1,2 juta gaji dua orang karyawan. Sedangkan harga 1 pcs kaos bermerek "I love Batam"

    hanya Rp 35 ribu.

    "Mungkin, beberapa bulan kedepan, saya mau tambah dua orang karyawan lagi, karena event

    yang harus dikejar terlalu banyak," katanya saat mengikuti CMB Expo di Mega Mall Batam

    centre.

    Meski demikian, menurutnya, cita-citanya masih panjang. Media baju kaos bermerek Batam

    dan sederatan merek ikon-ikon Batam dan budaya Kepri lainnya belum begitu familiar.

    "Saya benar-benar ingin berjuang mengenalkan Batam dan kebudayaan Kepri melalui baju

    kaos. Makanya saya belum memilih untuk tetap di toko. Lebih baik kita siap mengisi stand

    setiap ada pameran dan ekspo", tuturnya.

    Sudah ratusan kodi baju kaos bermerek "Wel Come to Batam" dan "I love Batam", terjual,

    baik ke turis mancanegara maupun turis lokal yang berasal dari daerah Jawa. Tetapi, sampai

    ditemui Haluan kepri beberapa hari lalu, dirinya belum pernah tersentuh oleh pemerintah. Dia

    juga berharap, agar usaha memperkenalkan Batam dan kebudayaan kepri lewat media baju

    kaos mendapat dukungan secara moril dari pemerintahan.

    Ia mencontohkan, ketika ada event-event olah raga, seni dll, pemerintah sedapat mungkin

    mengarahkan tamu-tamu atau peserta event itu untuk membeli baju kaos miliknya.

    "seperti di Jakarta, setiap orang yang datang selalu membeli kaos bermerek "Jakarta Tempo

    Doeloe" atau kaos Dagadu di Jogja yang telah begitu familiar. di Padang saja yang baru,

    dengan produk kaos bermerek "Tangkelek", sudah mendapat apresiasi dari pemerintah dan

    masyarakat Sumbar. Sedangkan kita di Batam, sangat besar kemungkinan untuk melebihi

    produk kaos di Jakarta, Jogja dan Padang, sampai hari ini  belum mendapat apresiasi yang

    membanggakan", katanya lagi.

    Perjuangannya membangun ekonomi keluarga melalui baju kaos bermerek Batam, selalu

    mendapat dukungan penuh oleh istrinya. Nur Lena, begitu nama istrinya, selalu membantu

    mengembangkan bisnis Jalinus.
    Walupun Istri ikut pameran berhari-hari di daerah yang agak jauh, seperti di Tanjung Pinang,

    Nur Lena tetap tidak mempersoalkannya.

    "Pernah berhari-hari Uda (Panggilan Jalinus oleh Nur Lena) tak pulang-pulang mengikuti

    pameran di Tanjung Pinang, saya tidak mempersoalkannya, karena saya tahu Uda selalu ulet

    dan serius berjualan, malah saya selalu mendukung, bagaimana baju kaos uda selalu laku",

    aku Nur Lena istrinya.

    Begitu juga Bunda Elly, salah seorang karyawannya, juga mengungkapkan bahwa Jalinus

    selalu ulet dan pantang menyerah. "Setiap kali ia mendapat rezki yang berlimpah, ia selalu

    berkirim ke  keluarganya di kampung, dan selalu mentraktir kami makan", katanya.

    Hal demikian pula yang menyebabkan Jalinus, akhirnya bisa menjadi salah satu ketua pada

    Ikatan Keluarga Tanah Datar (IKTD)  Batam dan Kepri periode 2011-2015. Kemudian Dia

    juga diangkat sebagai Ketua Futsal Ikatan Keluarga Tanah Datar di Batam. (Haluan kepri/ Mayonal Putra)


    #avg_ls_inline_popup{position: absolute;z-index: 9999;padding: 0px 0px;margin-left: 0px;margin-top: 0px;overflow: hidden;word-wrap: break-word;color: black;font-size: 10px;text-align: left;line-height: 130%;}orang tanah datar perjuangkan Batam le
    posted by mayonal putra @ 13.28   0 comments
    About Me

    Name: mayonal putra
    Home: Padang, padang/sumbar, Indonesia
    About Me: Manyonal Putra, ayah dan ibu adalah petani di negeri kelahiran ku, Jopang manganti. Datang ke dunia, pada tanggal tiga puluh satu mei seribu sembilan ratus delapan puluh enam di dangau. Kini, sudah menjadi sarjana dan bekerja sebagai Jurnalis,... ingin lebih lanjut: 085669110810
    See my complete profile
    Previous Post
    Archives
    Links
    News
  • Google
  • Oke zone News
  • Seputar Indonesia
  • Kompas
  • Republik Indonesia
  • Detik News
  • Cari Kerja
  • Provinsi Sumatera Barat
  • Uiversitas Andalas
  • Yahoo
  • MSN
  • My Friends
  • Epaldi Bahar
  • Reno Fernandes
  • Fuad Nari
  • My Organization
  • PB HMI
  • BADKO HMI SUMBAR
  • HMI Cabang Padang
  • FORAHMI
  • Powered by

    BLOGGER

    © MAYONAL PUTRA,Blogger Templates by Fuad Nari