|
puisi Mayonal Putra |
Minggu, 12 September 2010 |
Malam Takbiran,
aku pilu menggapai gema,
di jelang malam raya
kumau ku tanggalkan dosa yang terpakai telah lama sekali,
didepan sekali, aku menanti kedatanganMu Tuhan,
sebab besok aku melihat basa-basi dalam diriku,
melihat kelaparan kaki jembatan, kusam wajah jalanan, si kumal berebut Koran bekas di halaman rumah Mu, Tuhan,
malam bergema takbir,
untukMu malam itu, bagiku dingin menusuk kesumsum tulang,
melihat setengah selera untuk bertatap, ada basa-basi dalam diriku,
seribu umatmu bergembira petasan dijalan raya,
seribu saudaraku besedih gas tiga kilo di kuburan,
sejuta umatMu bersorak takbir dari baju-baju barunya,
seratusribu jiwa keluargaku merintih minta-minta di jalan-jalan raya,
malam takbiran aku rindu menikam gema, kedalam hatiku,
Payakumbuh, 2010
Untukmu Perantau
sesembahan apa seharusnya kami ujudkan, menanti mu pulang ke halaman,
yang sudah tua menunggu hatimu,
dan bagaimana bisa kita tak sekeras arang,
anak cucumu mengganti gonjong dan rangkiang rumah gadang kami,
merurutkan buah saluang -rabab yang sering menidurkan kita di padang gembala, ketika buyung belum kaya, dulu,
kami sungguh ragu seribu kali,
setiap tahun saja mulut kami tergagap-gagap mendengar celotehan mu dengan menantumu, kami ternganga,
sawah yang berpiring, serta ladang yang berpetak,
tidak menanti isi sakumu,
sementara surau kami sudah tua menunggu,
kamu mencabik sirih dan gatok pinang, yang sudah menjadi aneh dalam adat hidup anak cucumu,
lalu, apa sesembahan kami semestinya, menantimu bertahun-tahun.
Payakumbuh, 2010 |
posted by mayonal putra @ 09.16 |
|
|
|
Selasa, 07 September 2010 |
"The Deflector" |
posted by mayonal putra @ 09.38 |
|
|
|
|