|
Akibat Batik Cina, Penjualan Batik Lokal Anjlok |
|
|
posted by mayonal putra @ 08.44 |
|
|
DARI GALAMAI KE CAKE BUAH NAGA ,AROMA PAYAKUMBUH DI KOTA BATAM |
Rabu, 24 Agustus 2011 |
Ditulis oleh Mayonal Putra/ haluan |
Minggu, 31 Juli 2011 00:00 |
Ternyata galamai, makanan khas Payakumbuh-Limapuluh Kota, punya sejarah panjang. Dari penuturan masyarakat Luhak Nan Bungsu ini, usaha galamai sudah hadir sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia. Adalah Hj Rosneli (almarhumah) yang mengawali usaha rumahan galamai ini denga merek “Aroma” pada era tahun 1940-an. Usaha ini berkembang pesat sampai tahun 1980-an dengan menampung puluhan pekerja. Usaha ini berkembang pesat dan produknya sampai ke kota-kota di Sumatera Barat dan provinsi lainnya. Namun demikian, persoalan muncul ketika dipengujung 1980 an, beberapa pekerja intinya banyak yang keluar dan mengembangkan usaha lainnya. Dan ini membuat usaha “Aroma” goyah. Tapi hal ini bagi Rosneli bukan masalah besar. Sementara itu, dalam rentang 10 tahun, dari 1980-1990, di Kota Payakumbuh dan sekitarnya, tumbuh pula usaha sejenis. Ketatnya persaingan, membuat Usaha Aroma pada pertengahan tahun 1990, menyatakan “istirahat”. Perintis usaha rumahan yang pertama di daerah ini tak mampu berproduksi. Menurut cucu kandung Rosneli, Beni Saputra (30) dalam bincang-bincang dengan Haluan beberapa waktu lalu, pihak keluarga ingin menghidupkan Aroma dengan kemasan yang berbeda. “Dek banyak bona oleh-oleh di Pikumbuah, dan pasarannyo raso-raso agak sulik. Mako, alun yakin sajo ambo untuak mambukak usaho oleh-oleh di kampuang baliak. Sungguahpun rencana itu ado,” kata Beni Saputra yang telah 11 tahun membuka usaha di Pulau Batam, Kepulauan Riau, Beni Saputra sendiri salah seoranng generasi “Aroma” juga mengembangkan usaha buah tangan di Batam. Niatnya meneruskan kreativitas neneknya, yang telah menghidupkan keluarga besarnya sudah dibawanya sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Batam, tak pernah padam, bersama adiknya Rahmat Hidayat. “Kaluarga ambo indak digodangan dek gaji per bulan dari negara,” ungkap alumni SMK 3 Payakumbuh ini saat ditemui Haluan di Nagoya-Batam. Usaha Buah Naga Setelah berumah tangga dengan gadis cantik Melayu bernama Melani, Beni membangun usaha mandiri, sekaligus meneruskan spirit Aroma gelamai Payakumbuh, semakin mantap saja. Suatu malam, Beni mengatakan keinginannya kepada istrinya, tapi ia belum memikirkan usaha rumah tangga semacam apa yang harus dilakukan. Terbersit ide dalam pikirannya, bagaimana memanfaatkan buah naga sebagai ikon buah asal Batam itu. Beni membangkitkan nama Aroma yang telah lama “terkubur”. Buah naga pun ia olah menjadi sejenis cake (kue) dengan berbagai cita rasa. “Aroma akan lebih hidup lagi, walaupun di tempat yang berbeda,” ujar anak dari pasangan Indra Mulia dan Ernita ini. Setelah melihat peluang besar, Benni akhirnya memutuskan dirinya keluar dari dunia model, dan istrinya Melani, mantan pemain sinetron “Ikhlas” di SCTV itu, juga pindah kerja menjadi pegawai di salah satu bank terkenal cabang Batam. “Yo, bia lobiah fokus sajo ka usaho kek buah naga ko. Walaupun Aroma di payokumbuah ndak ado lai, di Batam harus awak nomor satu masalah oleh-oleh ko,” ucap lelaki kelahiran Payakumbuh itu. Sejak Mei 2011 lalu, usaha rumah tangga cake buah naga, yang diberi nama Aroma mulai diproduksi. Sedikitnya ada enam cita rasa yang ditawarkan yakni, rasa original, coklat, strawberry, Keju, blueberry dan almond. Semua rasa itu menjadi topping dan selai sebuah cake buah naga kecuali rasa original. Sedangkan, kemasan warna yang dipilih disesuaikan pula dengan warna buah, yaitu merah. “Cake buah naga, produksi Aroma memang suatu kreasi makanan khas yang baru. Dengan menggunakkan komposisi buah naga lebih banyak yang didatangkan dari perkebunan buah naga di kawasan Barelang,” tambah Rahmat Hidayat. Selain itu, Beni juga mempunyai harapan agar usaha yang sedang dikembangkannya mendapat sambutan yang positif bagi perantau Minang di Batam ataupun masyarakat Sumatera Barat yang sesekali berkunjung ke Batam. “Kalau ado urang kampuang kito pai main-main ka Batam, mudah-mudahan oleh-oleh nan di boli tontu punyo kito ndak,” ujar Beni lagi sambil tertawa. Usaha yang memperkerjakan sebagian besar berasal dari Payakumbuh ini juga telah mendapat respons dari Pemerintahan Kota Batam, Batam Tourism, dan Kadin Kota Batam. Menurut Ketua Batam Tourism, Rahman Usman, sudah bertahun-tahun petani Barelang menghasilkan buah naga yang setiap bulannya ratusan ton dijual keluar Provinsi Kepri, baru kali ini ada ide dan usaha rumah tangga yang paling menarik. Tidak hanya itu, usaha ini, akan mampu mengangkat nama Batam ke luar. “Setidaknya, makanan yang yang diproduksi Aroma ini, tidak mengurangi khasiat buah naga, yakni penetralisasi gula darah dalam tubuh,” terang Rahman Usman. Nada Faza Soraya, Ketua Kadin Kota Batam, mengatakan, mendukung langkah-langkah dan terobosan yang dilakukan Aroma dan siap bekerja sama demi kemajuan produktivitas warga Batam. Sugimto (51) pemilik kebun, juga sangat mendukung usaha ini. Menurut Sugimto, usaha makanan khas yang dikerjakan Aroma inin mempunyai peluang bisnis yang sangat besar. Petani-petani buah naga juga merasa gembira dengan adanya kreasi oleh-oleh yang menggunakan buah naga Batam ini. n |
|
posted by mayonal putra @ 13.39 |
|
|
Pertarungan Zainal Berjualan di Jalan Berdebu |
|
Mayonal Putra/ Haluan |
Minggu, 10 Juli 2011 00:44 |
Ketika berjalan di sepanjang Jalan Yos Soedarso, Batu Ampar, Batam, mungkin tidak ada terlihat hal baru dari yang lazimnya. Biasa saja. Paling-paling hanya gumpalan debu yang membuat sesak nafas akibat lori keluar masuk pabrik. Nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan dipinggir jalan berdebu itu. Sebulan belakangan, ternyata hadir suatu pemandangan yang baru. Lihatlah di kawasan pangkal jalan tersebut, sekitar Yos Soedarso Nomor 6, setiap sore akan ada sepeda motor bebek berbaju merah, parkir di pinggir jalan itu. Sepertinya, orang punya motor itu melawan gumpalan debu dengan berjualan. Hebat sekali bentuknya. Motor sebentuk memakai baju itu bisa terlindung dari cahaya matahari maupun hujan. Begitupun dengan debu yang berkepanjangan. Tidak jauh dari motor berbaju yang di parkir dekat dengan bibir aspal, mungkin berjarak dua meter dari motor berbaju tersebut, terlihat pula seorang bapak-bapak duduk bersandar beralaskan karton mi instan di sebuah batang kayu yang cukup rimbun. Walaupun hampir seluruh hijaunya dedauanan pohon itu menjadi coklat muda akibat polusi hebat berkepanjangan. Namun, lelaki itu tetap kelihatan betah memajang jualannya di sana. Sambil menikmati sensasi sebatang rokok, ditengah kabut debu yang berhembus tiap sebentar, laki-laki itu tak berhenti berharap; mudah-mudahan ada orang yang mampir. Zainal, lelaki 39 tahun, asal Lubuk Alung, Padang Pariaman itu, benar-benar seperti mencari sensasi untuk mengais rejeki. Dia menghadirkan penutup motor asal Demak di Kota Batam ini lalu menjualnya di tempat yang nyaris tak ada aktivitas perekonomian, berdebu pula, namun banyak juga orang membeli. Sejak sebulan lalu, setiap harinya, mulai pukul 14.00-18.00, duduk di pinggir jalan sambil memajang tutup motor selalu ia lakoni. Tak ayal, tutup motor yang dijualnya itu sudah se ratusan pcs habis terjual. Sedikitnya, seratusan pcs habis per dua minggu. Luar biasa bukan? Karena banyak permintaan, untuk bulan ini, Zainal memesan lebih banyak lagi, mencapai 200 pcs dalam keadaan hutang kepada distributor. Akan bisa dibayar Zainal, jika sudah habis terjual selama ‘mangkal’ dipinggir jalan penuh debu di Kota Batam. Sama seperti awal bulan dulu, 50 pcs penutup motor yang dipesan, dengan perjanjian bayar di depan kepada distributor yang ada di Demak, ternyata habis terjual. Ketika dihampiri Haluan Senin (4/7) siang. Mungkin menurut orang yang tidak memperhatikan dengan baik, kehadiran Zainal di tepi jalan tersebut hanya dianggap biasa. Tidak ada jual beli. Ya, sama sekali tidak terlihat adanya transaksi apa-apa. “Tidak disangka pula, sudah sebulan, setiap harinya saya menunggu pembeli datang di tempat ini, ternyata rezki tak kemana. Sudah ratusan habis terjual,” ujar bapak satu anak ini. Dikatakannya, penutup motor ini, juga dijual dengan harga yang cukup miring. Hanya Rp90 ribu dan penutup motor yang pakai resleting dijual dengan harga Rp100 ribu per pcs. “Jika Anda pandai-pandai menawar, harga akan jatuh atau lebih murah lagi,” ungkap zainal sambil tertawa. Baju atau penutup motor yang dijual Zainal ini, mempunyai banyak manfaat. Ketika panas menyengat atau hujan deras, motor anda bisa ditutup. Benda ini sangat efisien untuk melindungi sepeda motor saat di parkir di tempat terbuka. Bahan benda ini sama dengan bahan jas hujan, yakni parasut anti air. Penutup motor yang dijual Zainal di kawasan berdebu ini, tidak hanya untuk motor bebek. Jenis metik dan motor besar, juga tersedia. Desain masing-masing jenis, sangat disesuaikan dengan bentuk motor. Pemasangannya pun begitu praktis, sedangkan kualitas bahannya, bisa dijamin. Syahrul, kebetulan berhenti dan menawar baju motor yang dijual Zainal. Menurutnya, baju motor tersebut sangat menarik. Pemasangannya pun cukup enteng. “Bagus sekali untuk melindungi motor. Bahannya pun tidak tembus air. Mungkin aku memilih yang warna hitam,”ujarnya. Syahrul juga menyayangkan, kenapa Zainal menjual di tempat ini? Kenapa tidak di pasar atau di tempat keramaian lainnya? Padahal, jualan ini adalah satu-satunya dan pertama di Batam. Sambil tersenyum kecut, perantau Lubuk Alung ini, hanya menjawab, kalau ia tak punya cukup modal untuk menyewa tempat di pasar atau tempat lain. Sedangkan di pinggir jalan Yos Soedarso tersebut, tidak banyak urusan. Tidak banyak bayarannya. “Di sini rasanya kita tak mengganggu Bang. Lagian, kita kan cuma numpang parkir aja dengan memperlihatkan model jualan kita, tempatnya juga sepi kok. Ya, harapan saya cuma orang yang lalu lalang di jalan ini aja bang. Kalau di pasar, wah, ribet Bang.” Selain membayar, banyak lagi urusannya. Ntar gak jadi-jadi saya jualannya,” ujar Zainal sambil tersenyum. |
|
posted by mayonal putra @ 13.37 |
|
|
SBI, Membangun Konstruksi Nilai atau Materi |
|
Selasa, 02 Agustus 2011 02:24 |
Beberapa tahun lalu, sekitar 2005-2009, Sekolah Berstrandar Internasional (SBI) di atas angin. Orang tua siswa berebut memasukkan anaknya ke sekolah Rintisan SBI itu. Nyaris, tak ada kritikan terhadap program itu.
Namun, Satria Dharma, Ketua IGI sudah menyatakan sikap jelas untuk menolak program itu dengan alasan begitu rasional. Menurutnya, SBI menjadi dilematis yang panjang. Seperti ada kejanggalan dan kesenjangan dengan cita-cita pendidikan. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan alasan Satria Dharma, yang kembali disampaikannya secara tegas tentang 10 utama kelemahan SBI dalam petisi pendidikan di hadapan anggota komisi X DPR RI, pada Maret lalu. Namun demikian, penulis lebih cenderung melihat dilema itu dengan kontruksi pemikiran yang berkembang.
Bias SBI ini, jangankan siswa, guru yang mengajar di sekolah pun merasa bangga, serasa di atas dari guru sekolah lain. Tak dinyana, orangtua siswa merasa anaknya sudah ngeh betul. Seolah-olah, sekolah di SBI menjadi life style dalam harkat orang-orang kelas ekonomi atas. Konstruksi yang terbangun di tengah-tengah masyarakat, “anaknya lebih hebat”.
Konstruksi yang terbangun tanpa dikonsensuskan itu adalah bias yang tak terelakkan. Program nonregular itu, sangat besar kemungkinannya untuk menjauhkan karakter siswanya dengan budaya nenek-moyangnya. Sebab SBI lebih mengedepankan materialistik, dan bukan nilai-nilai. Konstruksi yang berkembang itu sarat memengaruhi karakter siswa. Apalagi siswa tingkat SMP yang berusia 12-15 tahun. Akan cepat sekali animo itu terkonstruksi dalam dirinya. Karena, masa remaja awal 12-15 tahun adalah masa paling labil dalam diri seseorang, yang sibuk mencari siapa dirinya. Perilaku lebih dari orang lain, akan terpola dengan sendirinya ke dalam diri siswa, lalu tumbuh selamanya.
Tentu saja konstruksi ini berpengaruh, lambat laun lekat hingga benar-benar menjadi karakternya. Ini membahayakan. Kalimat “semakin berisi semakin merunduk”, ibarat padi, tidak berlaku dalam konsep ini.
Jika ini berkembang sedemikian rupa, terkontruksikan SBI menjadi hal yang paling wah, sedangkan sekelompok siswa yang tidak disentuh oleh sekolah internasional menjadi terpinggir. Di sinilah, sekolah gagal menanamkan orientasi pendidikan kepada siswanya. Substansi pendidikan yang hendak dicapai, jauh panggang dari api sedangkan sekolah bagaikan api dalam sekam. Bukankah sekolah menanamkan nilai-nilai? Pertanyaan semacam ini, patut untuk dilempar kepada (R)SBI.
Selama empat bulan mengamati proses belajar mengajar di salah satu sekolah RBI di Sumatera Barat ini. Ada kesimpulan. Sekolah SBI memang disiplin terhadap waktu, tetapi ada beberapa kelemahan. Pertama, siswa RSBI begitu “dimanjakan”, mempunyai fasilitas serba lengkap dan mewah. Kalau mengajar di lokal SBI mesti hati-hati benar, jangan sampai marah-marah, karena siswanya terpola dengan khusus. Kedua, ada sedikit pembedaan—mungkin hanya pemandangan yang jarang tersingkap—perhatian guru antara siswa RSBI dengan tidak RSBI. Hal ini, cukup menyentuh sanubari dan menyinggung satu sisi kemanusiaan kita yang paling dalam. Anehnya, ada kasus yang tak masuk akal. Seorang ibu-ibu berseragam jaksa ngomel-ngomel bukan karuan kepada beberapa orang guru di sekolah RSBI. Puluhan kata-kata penghinaan berhamburan dari mulut ibu-ibu bertubuh jangkung itu. Serasa tak berharga safari guru-guru itu dibuatnya. Mereka diam dan sesekali saja menjelaskan dengan nada begitu santun sambil tertunduk cemas. Begitu miris kejadian itu.
Hanya perihal guru dan siswa SBI. Terjadi kesalahpahaman yang sama sekali guru bersangkutan tidak terjerat oleh UU kekerasan terhadap siswa. Hanya dis komukasi antara guru dengan siswa SBI, akibatnya sisi manusiawi dibuang jauh-jauh. Begitu istimewa siswa SBI itu. Si guru tidak berkutik dibuatnya. Makanya, perlu hati-hati benar mengajar siswa program khusus nge-internasional itu.
Dengan mengedepankan kejadian itu, penulis bukan bermaksud mengeneralisir bahwasanya SBI adalah “jelek” betul. Akan tetapi, hanya kontruksi pemikiran yang terlanjur dibangun, bahwa SBI sekolah paling ekslusif, istimewa, khusus, bagus sekali dan seterusnya dan seterusnya. Setelah kejadian itu, memang sedikit tercipta ‘adat’, agar guru-guru hati-hati mengajar siswa SBI.
Bukankah ini mengurangi nilai kemanusiaan di lingkup pendidikan?. Bukankah ini pendidikan yang salah orientasi? Lantas, pertanyaan mendasar, masih perlukah anak kita bersekolah, jika kontruksi yang terbangun, sekolah adalah milik “orang-orang berada”?
Kita jenguk awal abad 20 an. Terjadi perseteruan sengit antara pribumi dengan penjajah. Orang-orang asli tidak dikasih kesempatan bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Katakan, HIS, Mulo dan sejenisnya. Gara-gara tidak lurus menggunakan Bahasa Belanda, murid dipecat dari sekolah. Pedih nian zaman itu. Tetapi ulama-ulama membangun kelompok halaqah di surau-surau, menampung setiap anak yang mau belajar dari setiap golongan.
Sebut saja, Syech Abbas Abdullah Padang Japang, menghabiskan waktu ke tanah suci mencari sedikit ilmu kemudian ia “telorkan” ke generasinya yang dibilang bodoh oleh Belanda. Akhirnya, basis pendidikan suraunya menjalar. Mengantarkan perkumpulan itu menjadi sekolah memakai sistem kalssikal, setelah bersikeras arang dengan ulama-ulama tarekat, Sulaiman Arrusuli dan Syech Sa’ad Mungka. Mutunya, tidak ketinggalan dengan sekolah-sekolah Belanda yang ada, bahkan melebihi. Itulah pesantren-pesantren. Pada hari ini, pesantren-pesantren itu pun nyaris ditinggalkan, kecuali pesantren-pesantren mahal yang juga dipenuhi santri dari golongan orang kaya.
Sesungguhnya perseteruan antara ulama dengan penjajah sudah kembali. Dimana, nilai-nilai mulai terpisah dari kebutuhan material.
Kembali ke SBI. Betul yang dikatakan Mora Dingin dalam tulisannya, SBI, Kebijakan yang Kurang Bijak, beberapa waktu lalu di Haluan ini, bahwa tidak sedikit media memberitakan orang tua dan siswa keluhkan soal pembiayaan masuk SBI. Sedangkan output tidak ada jaminan.
Maka tidak cukup mengaji SBI dengan jawaban normatif belaka. Sangat perlu mempertanyakan filosofi SBI dan menjenguk filosofi pendidikan lalu mengawinkannya.
Tentu saja, dalam hal ini, alasan Muhammad Kosim tidak dapat disalahkan, bahwa SBI berupaya untuk menciptakan daya saing bagi siswanya di kancah internasional. Mereka dipersiapkan lebih unggul di bidang sains dan Matematika. Karena itu, dibutuhkan input yang memiliki kecerdasan lebih untuk dapat menguasai bidang ini, dalam tulisannya; SBI, Antara Cita dan Realita di salah satu media lokal beberapa hari waktu lalu. Akan tetapi, program SBI adalah cara pandang membangun generasi dari kacamata Barat, yang mengenyampingkan nilai-nilai, dan mengutamakan materi-materi. Sedangkan karakter siswa harus diteropong dari budayanya sendiri yang penuh nilai-nilai. Karena, memahami budaya sendiri, akan “merantaukan” pikiran kita ke negeri jauh, negeri tak berpeta. Justru itu, membangun karakter siswa sama dengan memperkuat karakter bangsa tanpa mengurangi wawasan global. |
|
posted by mayonal putra @ 13.31 |
|
|
Orang Tanah Datar Sukses Di Batam |
|
Jalinus Sikumbang, Berjuang dengan T-Shirt "I Love Batam"
Lelaki berkumis itu, kini sudah dapat menghela nafas dengan tenang. Meskipun bergaya
sederhana, namun telah sukses membangun perekonomian keluarga. Tinggal lagi
mempergesit perjuangan, yakni mengenalkan Batam dan Kebudayaan Kepri lewat media baju
kaos ke turis mancanegara.
Jalinus Sikumbang yang lahir 15 Mei 1973 di Tanah Datar, Sumatera Barat itu, sejak usia 23
tahun, telah memutuskan untuk merantau ke Pulau Batam dengan modal selembar ijazah
SMA. Ijazah itu pulalah yang menghantarkannya dapat bekerja di sebuah PT di Kota Batam
ini, meski keberadaannya sebagai karyawan rendahan dan gaji yang tidak bisa menjanjikan
masa depan, namun ia begitu tekun menjalaninya.
"Pekerjaan itu aku anggap saja sebagai suratan takdir, jadi aku terima dengan ikhlas
pekerjaan sebagai kuli di sebuah PT", katanya menceritakan saat ditemui Haluan Kepri,
Sabtu (25/6) siang.
Berjalan tiga tahun, sejak tahun 1996-1999, pada suatu siang yang ganas, tiba-tiba ia
mendapat amplop putih dari atasan. Seketika, seribu tanya hadir dalam dirinya. Ketika
dibukanya, ternyata surat PHK. Miris nian nasib yang ia lalui di kampung orang, seorang diri
pula. Namun tidak meruntuhkan semangat juangnya.
Begitu ia tidak bekerja lagi, gaji yang disisihkan sedikit demi sedikit selama tiga tahun
sebelumnya, ia belikan sepeda motor seadanya. Lalu, mengojekpun ia lakoni untuk
menyambung hidup, agar masih bisa berkabar ke kampung halaman di Tanah Datar sana.
Lagi pula, ia selalu punya niat, bagaimana dengan hasil usaha rantauannya, dapat juga
berkirim ke orang tua di kampung halaman. Padahal, ia tidak terdaftar sebagai tukang ojek
resmi di kawasan Nagoya-Batam.
Mengojek selama hampir setahun, membuatnya banyak kenal dengan masyarakat di Batam.
Akhirnya, profesi itu pun ia tinggalkan setelah dapat menyisihkan sebagian pendapatan untuk
hari depan. Bersih Rp 1 juta uang dapat dikumpulkan Jalinus. Dengan uang itu, ia mencoba
berjualan aksesoris di street shopping Nagoya Hill. Hari demi hari ia lalui dengan
menggantungkan hidup di street shoping Nagoya Hill itu hingga ia menemukan ide yang
cemerlang. Yakni mengangkat citra budaya orang Kepri dan mengenalkan Batam lewat media
baju kaos ke turis mancanegara. Itu ia lakukan dengan modal seadanya.
Akhirnya, Shoping street Nagoya Hill pun ia tinggalkan. Ia pesan dua kodi baju kaos oblong di
Bukittinggi dan kebetulan temannya ada tukang sablon.
Berawal dengan sepeda motor buntut, ia tekun mengejar turis-turis yang melalui travel VIP
Batam Indah Indopas. Dimana turis-turis meses, Jalinus muncul di situ sebagai penjual
aksesoris seperti kacamata, dan baju kaos bermerek "WelCome To Batam" dan I Love
Batam Indonesia". Dua kodi kaos sablon, habis sehari. Besoknya, ia cari kaos oblong di
sekitar pasar di Batam saja, karena Bukittinggi terlalu jauh. Usaha nya ini menjadi sesuatu
yang manis, sebab jualannya pun laris manis setiap harinya. Hari-hari berikutnya, Pesanan
baju selalu meningkat.
"Untuk berjualan dengan turis-turis, saya menggunakan Bahasa Inggris seadanya. Bahasa
Inggris saya sangat balepotan, akhirnya karena terbiasa berjualan dengan
pendatang-pendatang dari Barat, baru lancar," katanya.
Bagi Jalinus, jalan usaha sudah mulai agak terang. Ia pun mempersunting Nur Lena,
perempuan Melayu, di ranah rantauannya ini, Batam. Setelah menikah, ia semakin tekun
menjalani pekerjaannya sebagai penjual kacamata dan baju kaos sablon amatiran. Tanpa ada
kedai apalagi toko.
Berkat ketekunan dan ketabahan, tahun 2003 ia bisa membeli tanah dan membangun rumah
permanen di kawasan Nagoya, Batam. Usahanya semakin meningkat hingga tahun 2007 ia
dapat membeli mobil Sedan jenis toyota Vios.
Bapak dua orang anak ini, sejak 2009 lalu sudah berpenghasilan Rp1,5 juta per hari.
Berjualan kaos bermerek ikon Batam dengan mengejar Turis-turis yang melalui travel VIP
Batam Indah Indopas, tidak ia tinggalkan sampai sekarang. Walaupun, ia telah mempunyai
stand tetap di DC Mall dan stand-stand tidak tetap di setiap event-event dan
pameran-pameran dengan dua orang karyawan.
Sekarang ia telah mampu membayar setiap kali mengikuti Expo melalui organizer sebesar Rp
6 juta per 16 hari. Ditambah pula dengan sewa stand di DC Mall Rp3 juta per bulan, dan Rp
1,2 juta gaji dua orang karyawan. Sedangkan harga 1 pcs kaos bermerek "I love Batam"
hanya Rp 35 ribu.
"Mungkin, beberapa bulan kedepan, saya mau tambah dua orang karyawan lagi, karena event
yang harus dikejar terlalu banyak," katanya saat mengikuti CMB Expo di Mega Mall Batam
centre.
Meski demikian, menurutnya, cita-citanya masih panjang. Media baju kaos bermerek Batam
dan sederatan merek ikon-ikon Batam dan budaya Kepri lainnya belum begitu familiar.
"Saya benar-benar ingin berjuang mengenalkan Batam dan kebudayaan Kepri melalui baju
kaos. Makanya saya belum memilih untuk tetap di toko. Lebih baik kita siap mengisi stand
setiap ada pameran dan ekspo", tuturnya.
Sudah ratusan kodi baju kaos bermerek "Wel Come to Batam" dan "I love Batam", terjual,
baik ke turis mancanegara maupun turis lokal yang berasal dari daerah Jawa. Tetapi, sampai
ditemui Haluan kepri beberapa hari lalu, dirinya belum pernah tersentuh oleh pemerintah. Dia
juga berharap, agar usaha memperkenalkan Batam dan kebudayaan kepri lewat media baju
kaos mendapat dukungan secara moril dari pemerintahan.
Ia mencontohkan, ketika ada event-event olah raga, seni dll, pemerintah sedapat mungkin
mengarahkan tamu-tamu atau peserta event itu untuk membeli baju kaos miliknya.
"seperti di Jakarta, setiap orang yang datang selalu membeli kaos bermerek "Jakarta Tempo
Doeloe" atau kaos Dagadu di Jogja yang telah begitu familiar. di Padang saja yang baru,
dengan produk kaos bermerek "Tangkelek", sudah mendapat apresiasi dari pemerintah dan
masyarakat Sumbar. Sedangkan kita di Batam, sangat besar kemungkinan untuk melebihi
produk kaos di Jakarta, Jogja dan Padang, sampai hari ini belum mendapat apresiasi yang
membanggakan", katanya lagi.
Perjuangannya membangun ekonomi keluarga melalui baju kaos bermerek Batam, selalu
mendapat dukungan penuh oleh istrinya. Nur Lena, begitu nama istrinya, selalu membantu
mengembangkan bisnis Jalinus. Walupun Istri ikut pameran berhari-hari di daerah yang agak jauh, seperti di Tanjung Pinang,
Nur Lena tetap tidak mempersoalkannya.
"Pernah berhari-hari Uda (Panggilan Jalinus oleh Nur Lena) tak pulang-pulang mengikuti
pameran di Tanjung Pinang, saya tidak mempersoalkannya, karena saya tahu Uda selalu ulet
dan serius berjualan, malah saya selalu mendukung, bagaimana baju kaos uda selalu laku",
aku Nur Lena istrinya.
Begitu juga Bunda Elly, salah seorang karyawannya, juga mengungkapkan bahwa Jalinus
selalu ulet dan pantang menyerah. "Setiap kali ia mendapat rezki yang berlimpah, ia selalu
berkirim ke keluarganya di kampung, dan selalu mentraktir kami makan", katanya.
Hal demikian pula yang menyebabkan Jalinus, akhirnya bisa menjadi salah satu ketua pada
Ikatan Keluarga Tanah Datar (IKTD) Batam dan Kepri periode 2011-2015. Kemudian Dia
juga diangkat sebagai Ketua Futsal Ikatan Keluarga Tanah Datar di Batam. (Haluan kepri/ Mayonal Putra)
#avg_ls_inline_popup{position: absolute;z-index: 9999;padding: 0px 0px;margin-left: 0px;margin-top: 0px;overflow: hidden;word-wrap: break-word;color: black;font-size: 10px;text-align: left;line-height: 130%;}orang tanah datar perjuangkan Batam le |
posted by mayonal putra @ 13.28 |
|
|
Akibat Batik Cina, Penjualan Batik Lokal Anjlok 70 Persen |
Sabtu, 18 Juni 2011 |
Mayonal Puerta Haluan Kepri
Batik begitu booming dan hangat-hangatnya di Indonesia. Model yang dirancang begitu fhasionable, bisa dinikmati oleh berbagai kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja putra dan putri, dewasa, orang tua, dan bahkan menjadi pakaian seragam wajib disejumlah sekolah, perguruan tinggi serta instansi pemerintah dan swasta. Sejak pernah diklaim Malaysia, bahwa batik bagian kebudayaan mereka, pengarajin dan pewaris seni buadaya batik bagai disengat binatang berbisa. Tidak hanya mereka, bahkan seluruh anak bangsa ikut pula tercoreng keningnya.
Sejak ASEAN UKM Expo 2009 lalu di Jakarta, timbullah niat baik Kadin se Indonesia untuk benar-benar mengatakan kepada dunia; batik adalah milik Indonesia. Akhirnya niat baik ini rampung sejak ASEAN Summit Mei 2011 di Jakarta. Yakni, menggelar perdagangan Batik Se Asean yang berpusat di Batam. Kenapa Batam? Bukan soal Batam punya atau tidak pengarajin batik, namun soal geografis dan nilai bisnis. Batam secara geografis begitu strategis, dekat dengan negara-negara semenanjung Malaya, yaitu Singapura, Malaysia bahkan Vietnam.
Tidak beberapa bulan lagi, perdagangan batik se-ASEAN itu bakal digelar di Batam. Kadin dengan sejumlah kepanitian, sibuk-sibuknya mengurus dan menyosialisasikan batik di Batam. Hal tersebut diakui ketua Kadin Batam, Nada Faza Soraya kepada Haluan Kepri beberapa hari lalu. "Pengamanahan negara-negara ASEAN kepada Batam sebagai pusat perdagangan batik, sudah menjadi perencanaan tetap dan kepanitiaannya sudah diterima Pemerintahan Kota (Pemko) Batam," kata Nada. Beberapa kegiatan sosialisasi pun sudah pula direncanakan, mulai dari lomba mewarnai batik tingkat TK, menggambar batik tingkat SD, lomba desain batik tingkat pelajar SMA, lomba fashion show batik , serta berbagai iven mendukung Batam dijadikan pusat perdagangan batik se-ASEAN bakal digelar Juli mendatang.
Sedangkan sejumlah penjual batik merasa terganggu akibat banyaknya batik Cina beredar di pasaran Batam. Menyebabkan penjualannya anjlok hingga 70 persen. Sayangnya, para konsumen pun lebih tertarik dengan batik buatan Cina tersebut. Di samping motifnya yang tidak kalah menarik, harga yang ditawarkan juga miring. Pembuatannya pun tidak secara Tulis atau Ngecap, sebagai mana adanya batik Indonesia. Jadi, batik luar negeri menggunakan printer, sekali cetak bisa menghasilkan banyak. Namun sebetulnya, kualitas batik Indonesia begitu tidak terkalahkan, karena tidak luntur seperti batik Cina. Bahannya pun bagus.
Menurut supervisor toko Batik Nusa, Juliana, sudah sejak sebulan terakhir, terjadi penurunan atas penjualan batiknya. Biasanya, dalam waktu sebulan habis 150-200 potong terjual, sedangkan sebulan terakhir menurun, terjual hanya 50 potong saja.
"Padahal, kualitas batik yang kami jual tidak diragukan lagi. Batik Solo dengan berbagai motif, seperti motif bordir tengah, motif parang, lilis, biji kopi dll. Lagi pula, batik kami ini bukan dari hasil print, tetapi dibuat dengan cara manual. Asli dari pengrarjin batik asal Solo," cetusnya.
Dia mengaku heran, apa penyebab terjadinya penurunan penjualan yang begitu drastis setelah sebulan ini. Dikirakannya, banyaknya produksi batik printing asal Cina yang beredar dengan harga yang begitu murah, sehingga batik-batik Ngecap dan Tulis yang dijual dengan harga Rp 200 ribu hingga Rp500 ribu per potong tidak laku lagi dipasaran. Biasanya omzet perbulan melebihi Rp50 juta, tetapi bulan ini hanya Rp12,5 juta.
"Yang sebenarnya batik itu hanya Batik Tulis dan Batik Ngecap, memang harganya mahal, namun proses dan bahannya mahal pula. Sedangkan masyarakat kita banyak yang belum paham dengan batik yang sebenarnya itu," tambahnya.
Bahkan, dia terangkan, proses pembuatan batik Ngecap yang dijualnya, dengan maksud hendak menunjukkan keaslian batik. Katanya, pertama Ngecap, adalah melakukan pengecapan dengan menggunakan alat cap yang berpola batik dan sudah berlumurkan di atas kain Mori. Kedua Nembok, yakni melakukan proses penutupan pola batik dengan menggunakan lilin agar warna yang sudah ada tidak tercampur oleh warna baru. Ketiga, Ngelir, yakni melakukan proses pewarnaan pada kain yang sudah dibatik. Keempat Nglorot, yakni melakukan proses penghilangan lilin dengan cara dicelupkan ke dalam air mendidih yang sudah dicampur dengan beberapa obat peluntur lilin. Kelima, Mepe, yakni melakukan pengeringan.
Walaupun sejumlah toko batik telah memberikan diskon penjualan dari 10- 50 persen, tetap saja penjualan mereka tidak seberapa. Dikatakan Juliana, batik jenis blues ibu dan Hem bapak ada didiskon hingga 50 persen. Tetapi masyarakat tidak berminat.
Hal serupa juga dialami toko batik Classic Pramoedya. Nana, karyawan toko mengaku kalau penjualannya juga menurun drastis sejak sebulan lalu. Penurunan penjualan itu hingga 50 persen. Menurutnya, terjadinya penurunan penjualan ini, bukan karena batiknya tidak bagus. Namun sebaliknya, justru masyarakat banyak tidak mengerti dengan batik yang sebenar batik. Sedangkan, produksi batik printing begitu banyak dijual di pasaran, bahkan di kaki lima walaupun kualitasnya jauh di bawah Batik Tulis dan Batik Ngecap.
Turunnya pasar batik Tulis dan batik Ngecap produksi Solo di Batam, mendapat komentar dari Kepala Dinas Perindustrian dan perdagangan (Disperindag) Batam, Ahmad Hijazi. Menurutnya, persaingan pasar biasa terjadi di Batam. Pasalnya, Batam daerah yang strategis yang terbuka untuk pedagang-pedagang dan industri luar negeri. Walaupun dia juga mengakui banyak produksi batik dengan proses printing dari Malaysia dan Cina, membuat nilai tawar batik asli tersaingi, karena masyarakat memang belum paham betul mana yang batik kebudayaan dan mana yang batik komersial. Lagi pula, menurut dia, masyarakat belum bisa menjangkau harga batik hasil dari kebudayaan kita, yang dijual begitu tinggi. Sedangkan batik yang diproduksi Malaysia dan Cina dengan proses yang begitu instan, dipasarkan dengan harga yang cukup murah.
"Dengan demikian, tetap saja kami berharap, masyarakat tidak hanya menilai dari sisi komersil saja. Lagipula Batik telah diakui sebagai pewarisan kebudayaan dunia, ya, belilah batik yang dibuat dari proses kebudayaan,"katanya.
Hal senada juga disampaikan Humas Kepanitiaan Perdagangan Batik Asean, Yunianti saat dikonfirmasi Haluan Kepri melalui telepon. Menurutnya, batik itu hanya dua saja, yakni bati tulis dan batik ngecap. Sedangkan batik dari proses hasil printing bukanlah disebut batik. Tetapi, menurutnya, persaingan pasar hal yang biasa.
"Penurunan penjualan batik asli, sebabnya karena tidak terjangkau daya belinya oleh masyarakat, karena diakui batik ngecap dan tulis dijual dengan harga mahal," katanya.
|
posted by mayonal putra @ 01.23 |
|
|
|
|